Merintis Karier sebagai Penerjemah (Bag. 2)

Baca Bagian 1 di sini

Penerjemahan sebagai Kebutuhan

Istilah “penerjemah” atau “translator” disematkan pada mereka yang menghasilkan output berupa teks, sedangkan mereka yang melakukan alih bahasa dengan output yang ditangkap secara audio atau visual (bahasa isyarat), baik secara simultan maupun konsekutif, disebut “interpreter” atau “juru bahasa”. Dalam banyak kasus, tumpang tindih penggunaan istilah “translator” dan “interpreter” sering terjadi, terutama di kalangan masyarakat awam. Sebagaimana sudah saya sampaikan di bagian pertama tulisan ini, saya tidak akan membahas perihal merintis karier sebagai juru bahasa. Meski pernah melakukannya, saya sudah tidak berani lagi — dijamin grogi. Bagi yang tertarik mendalami seluk-beluk dunia juru bahasa, silakan baca tulisan di blog Desi Mandarini ini.

Saya juga sudah menyampaikan bahwa penerjemah adalah salah satu profesi idaman dewasa ini. Pendapatan memang merupakan salah satu alasan utamanya, meski tidak bisa dipungkiri bahwa profesi ini (sangat) dibutuhkan. Dalam tulisannya untuk pangeanic.com, Amando Estela mengemukakan bahwa penerjemah merupakan salah satu profesi yang tidak terimbas oleh kemerosotan ekonomi global. Lebih lengkapnya ia mengatakan:

In the 21st century, companies and governments must communicate and publish regularly (often in several languages) with existing and potential customers, business partners, even employees working in other countries. This has shielded the translation industry and has turned it in a refuge from economic downturns. Despite downwards pressures because of worldwide recession, demand has actually grown steadily in the past few years. For example, multilingual online publishing has provided a tool for many SMEs (small and mid-size enterprises) to enter previously untapped markets.

Verified Market Research pun menunjukkan bahwa pasar jasa penerjemahan pada tahun 2019 bernilai USD39.61 miliar, dan diproyeksikan akan tumbuh mencapai angka USD46.21 miliar pada tahun 2027, dengan compound annual growth rate sebesar 2.1% dari 2020 hingga 2027.

Selain itu, untuk membuktikan bahwa penerjemah merupakan profesi penting sebenarnya tidak sulit. Tinggal kita tanyakan saja: Bidang apa sih yang tidak membutuhkan jasa seorang penerjemah? Mau urusannya terkait pemerintahan, lingkungan, ekonomi, sampai ke masalah bencana alam, semuanya butuh penerjemah. Dari daftar di bawah ini, bisa dilihat spesialisasi apa saja yang dapat dipilih di portal ProZ.com.

Bidang peternakan butuh penerjemah, dan kalau bisa penerjemah spesialis bidang peternakan. Apa lagi bidang teknik, medis, hukum, sampai urusan besi dan baja. Semua ada penerjemah spesialisnya. Bidang-bidang yang tidak saya sentuh juga banyak mencari penerjemah, misalnya untuk situs-situs judi, pornografi, dan semacamnya.

Banyak agensi penerjemahan mengumumkan proyek terjemahan terbaru mereka lewat ProZ, sehingga Anda dapat memanfaatkannya dengan mendaftar, melengkapi profil, dan mengklik “browse jobs“. Untuk kompilasi situs web lain yang menawarkan kesempatan serupa, baca tulisan ini.


Anda mencari penerjemah akademik? Hubungi Bekabuluh (Dalih Sembiring) melalui dlhbiring@gmail.com atau +62 812-6085-0859. Layanan di bidang ini meliputi penerjemahan dan/atau pengeditan artikel ilmiah, tesis (skripsi, tesis, disertasi), abstrak tesis, proposal penelitian, laporan penelitian, berbagai dokumen (non-legal) institusi pendidikan, dan sebagainya. Kunjungi laman testimoni untuk membaca komentar beberapa klien yang telah membuktikan kelebihan Bekabuluh dalam penerjemahan akademik dan penerjemahan di bidang lainnya.


Besar Kecil Risiko Penerjemah

Akan tetapi, meskipun demand-nya besar, apakah lantas siapa pun yang mampu berbicara dalam dua bahasa otomatis dapat menjadi penerjemah (atau juru bahasa)? Tentu tidak. Profesi ini bukannya tanpa risiko. Berikut ini beberapa contohnya…

Di tahun 2013, Ketua DPR saat itu, Marzuki Alie, membentak seorang juru bahasa dadakan di acara seminar di UI. Beliau menganggap si juru bahasa ini tidak becus menerjemahkan pidatonya. Setelah ditelisik, ternyata juru bahasa itu adalah seorang mahasiswi semester awal yang tugasnya hanyalah sebagai MC, namun mendadak ditunjuk menjadi juru bahasa untuk acara berskala internasional tersebut.

Ada kasus yang lebih gawat. Salah menerjemahkan satu kata ternyata bisa berakibat sangat buruk. Di tahun 1980, seorang staf rumah sakit di Florida salah menerjemahkan “intoxicado” menjadi “intoxicated”. Kata “intoxicado” dalam bahasa Spanyol berarti keracunan, sedangkan “intoxicated” dalam bahasa Inggris cenderung mengarah kepada penyalahgunaan narkoba atau minuman beralkohol. Keracunan dan mabuk adalah dua hal yang berbeda penanganan medisnya. Akibat salah penanganan, seorang pemuda yang dibawa ke rumah sakit tersebut karena keracunan akhirnya mengalami lumpuh, dan ia pun menerima  ganti rugi sebesar USD71 juta.

Masih urusan malpraktik medis, kali ini korbannya tujuh orang meninggal dunia, dari sebanyak 450 orang yang salah penanganan. Apabila dua contoh sebelumnya terkait penjurubahasaan, kali ini biang masalahnya adalah teks, yakni buklet instruksi mesin radiasi. Awal masalah adalah penggantian mesin-mesin radiasi di satu rumah sakit di Prancis. Panduan penggunaan mesin-mesin tersebut hanya tersedia dalam bahasa Inggris. Akibat salah baca instruksi, para staf salah menetapkan dosis radiasi, dan hal ini tentu berakibat fatal.

Ada pula pihak-pihak yang telah meneliti rangkaian peristiwa di balik pemboman Hiroshima, Jepang, dan mereka menemukan indikasi kuat bahwa tragedi tersebut dipicu oleh kesalahan penafsiran atas komentar Perdana Menteri Jepang saat itu terhadap ultimatum pihak sekutu.

Itu tadi contoh-contoh ekstrem. Kita jelas bisa menghindarinya dengan cara bijak memilih bidang-bidang spesialisasi. Namun menjadi penerjemah atau juru bahasa mau tidak mau menghadirkan tantangan. Yang paling jelas adalah seberapa mumpuni penguasaan mereka akan (minimal) dua bahasa serta seberapa mumpuni penguasaan mereka akan bidang-bidang tertentu sehingga dapat melakukan alih bahasa untuk bidang-bidang tersebut dengan baik? Tantangan lain, apabila kita melihat jumlah penerjemah yang ada dewasa ini, Anda yang baru berniat untuk terjun ke dalamnya bisa-bisa enggak pede duluan. Di sinilah pentingnya pembekalan.

Membekali Diri

Mari kita mulai dengan yang paling utama: penguasaan dua bahasa (atau lebih). Kata “penguasaan” perlu dipahami dengan sebenar-benarnya. Jika kita sudah sepakat bahwa penerjemah adalah satu profesi yang diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan, maka ia tak berbeda dari profesi-profesi lain dengan berbagai tanggung jawabnya masing-masing. Seorang pedagang, misalnya, tak boleh berdusta tentang barang dagangan dan tak boleh mengurangi takaran. Seorang penerjemah pun harus jujur tentang sejauh mana ia menguasai suatu bahasa berikut konteks (budaya, bidang, wacana) yang meliputi bahasa tersebut untuk dapat menyampaikan pesan-pesan dalam teks yang harus ia terjemahkan dengan baik ke dalam bahasa lain yang tak kalah penting pula untuk ia kuasai aspek-aspek linguistik dan berbagai konteksnya.

Hasil tak akan mengkhianati apresiasi. Cukup sering saya mengirimkan teks kepada orang lain untuk diterjemahkan demi menguji kemampuannya. Jika hasilnya baik, maka saya tidak akan ragu untuk terus menggunakan jasanya. Sebab, ada masanya saya disodori begitu banyak job terjemahan yang tidak mungkin saya garap sekaligus. Karena saya bertanggung jawab untuk mengirimkan hasil terjemahan yang baik kepada klien, saya harus menerapkan quality control (editing dan proofreading) terhadap hasil terjemahan pihak lain yang saya pakai jasanya tersebut. Bagaimana seseorang dapat menguasai bahasa, pemahaman akan konteks, serta kemampuan menyunting dan melakukan proofread sebagai bekal dalam menjalankan tugas sebagai penerjemah?

Pengalaman pribadi saya akan menyodorkan rentetan kisah tentang seorang bocah sekolah dasar yang berangkat les bahasa Inggris tiga kali dalam sepekan; bagaimana ia kelak tidak bisa tidur ketika pertanyaan-pertanyaan terkait tata bahasa membuatnya membolak-balik buku-buku grammar; tentang kebiasannya menghabiskan waktu senggang di perpustakaan untuk menyantap berbagai buku; tentang diskusi-diskusi terkait bahasa dan sastra yang ia ikuti, dan lain sebagainya. Barangkali perlu pula disampaikan perihal keterpaparannya terhadap latar belakang budaya masyarakat suatu bahasa. Seseorang sempat menyoroti betapa beruntungnya saya karena sempat tumbuh di lingkungan masyarakat berbahasa Inggris, yakni Australia, yang menyiapkan saya untuk lebih percaya diri menggarap berbagai terjemahan, khususnya dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Apalagi exposure itu terjadi ketika saya masih cukup belia, usia sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama, yang dipercaya mempermudah proses pencerapan bahasa asing. Akan tetapi, saya mengingat betapa introvert-nya saya ketika tinggal di sana, sehingga waktu yang saya habiskan untuk berinteraksi dengan masyarakatnya jauh lebih sedikit ketimbang waktu saya di depan buku dan televisi. Jangka saya tinggal di sana pun tidak terlalu lama, hanya satu setengah tahun. Maka saya bisa bilang, keterpaparan seseorang terhadap bahasa dan budaya asing lewat bacaan dan tontonan, misalnya, bisa jadi tak kalah efektif dalam upaya mencerap bahasa tersebut dibandingkan berinteraksi langsung dengan para penutur asli. Satu contoh pribadi, yang mungkin terdengar rada pamer, adalah kemampuan saya untuk begitu saja switch dari aksen Australia ke aksen British dalam percakapan, padahal saya belum pernah ke Inggris. Pasalnya, sejak tinggal di Australia sampai sekarang, saya senang sekali menonton serial-serial televisi Inggris seperti Absolutely Fabulous, Blackadder, dan Keeping Up Appearances, juga film-film berlatar Inggris Abad Pertengahan atau era Renaissance.

Maka dari itu, bisa saya garis bawahi, nyemplung langsung ke lingkungan masyarakat penutur asli untuk mempelajari suatu bahasa bukanlah suatu hal mutlak. Dengan catatan, Anda siap mempelajari tata bahasanya secara tekun lewat buku (atau video-video YouTube dan beragam aplikasi) serta mengamati budayanya lewat aneka bacaan maupun sajian audiovisual. Bekal utamanya adalah kecintaan terhadap bahasa itu sendiri. Dan karena bahasa adalah (bagian dari) budaya, dorongan untuk terus mempelajari berbagai elemen budaya yang berkaitan dengan bahasa tersebut tak bisa lepas dari proses mempelajarinya.

Bersambung ke bagian penutup

2 responses to “Merintis Karier sebagai Penerjemah (Bag. 2)

  1. Pingback: Merintis Karier sebagai Penerjemah (Bag. 1) | Bekabuluh·

  2. Pingback: Merintis Karier sebagai Penerjemah (Tamat) | Bekabuluh·

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s