Menerjemahkan Suara sang Pengarang (Tamat)

Buka Bagian 1 dan Bagian 2 untuk membaca esai ini secara runtut. Teks kuliah ini disampaikan pada Webinar HPI 16 bertajuk “Penerjemahan Sastrawi & Suara sang Pengarang” yang diselenggarakan pada tanggal 20 Februari 2021. Semoga bermanfaat.

***

Untuk lebih memahami alasan saya, atau alasan yang mungkin telah dan akan diambil oleh penerjemah-penerjemah lain ketika berhadapan dengan tantangan-tantangan serupa, saya ingin mengajak Anda sekalian untuk mengunjungi satu esai karya Ryan Bloom. Dan lagi-lagi saya harus berterima kasih kepada Mas Reza Daffi yang pernah membagikan tautan untuk esai ini, yang kemudian saya lahap dengan rakusnya. Berjudul “Lost in Translation: What the First Line of ‘The Stranger’ Should Be”, esai ini dimuat di The New Yorker pada Mei 2012. Sebagaimana judulnya, Ryan Bloom membahas tentang terjemahan yang paling pas untuk kalimat pembuka novel berbahasa Prancis L’Étranger karya Albert Camus yang berbunyi:

“Aujourd’hui, maman est morte.”

Penulis esai ini mengatakan bahwa semua penerjemah yang pernah menerjemahkan novel ini ke dalam bahasa Inggris, yakni Stuart Gilbert, Joseph Laredo, Kate Griffith, dan Matthew Ward, telah gagal menerjemahkan kalimat pembuka tadi, meski tiga nama pertama lebih gagal daripada yang terakhir. Oleh Stuart Gilbert, Joseph Loredo, dan Kate Griffith, kalimat “Aujourd’hui, maman est morte” diterjemahkan menjadi “Mother died today.” Sementara oleh Matthew Ward, kalimat tersebut diterjemahkan menjadi “Maman died today.” Kata “Maman” tidak dimiringkan.

Mengapa satu kata tersebut begitu penting? Salah satu alasannya adalah karena kata tersebut merupakan bagian dari kalimat pembuka. Dan menurut Ryan Bloom, serta semua penulis di seluruh dunia, kesan pertama penting adanya: “First impressions matter, and, for forty-two years, the way that American readers were introduced to Meursault was through the detached formality of his statement: ‘Mother died today.’ There is little warmth, little bond or closeness or love in ‘Mother,’ which is a static, archetypal term, not the sort of thing we use for a living, breathing being with whom we have close relations. To do so would be like calling the family dog ‘Dog’ or a husband ‘Husband.’ The word forces us to see Meursault as distant from the woman who bore him.”

Saya terjemahkan bagian yang ditebalkan: “Betapa lengang dari kesan hangat, mengikat, dekat, maupun erat kata ‘Mother’ (‘Ibu’) itu, suatu istilah arketipal nan statis, bukan pilihan kata yang cocok untuk sosok yang nyata dan hidup serta berbagi pengalaman mendalam dengan kita.”

Penulis esai ini lantas mengajukan pertanyaan: Bagaimana jika kalimat pembuka novel ini menggunakan padanan “Mommy”? Barangkali kesan pertama pembaca bahasa Inggris adalah bahwasanya yang sedang bicara adalah seorang anak kecil, dan benak pembaca pun serta-merta memunculkan sebentuk rasa kasihan atau simpati untuk si anak kecil yang baru saja kehilangan ibunya. Dan ini pun tentu tidak akurat. Nuansa yang meliputi kata “maman”, menurutnya, berada di antara nuansa makna “mother” dan “mommy”.

Bloom berpendapat: “The truth is that neither of these translations — ‘Mother’ or ‘Mommy’ — ring true to the original. The French word ‘maman’ hangs somewhere between the two extremes: it’s neither the cold and distant ‘mother’ nor the overly childlike ‘mommy’. In English, ‘mom’ might seem the closest fit for Camus’s sentence, but there’s still something off-putting and abrupt about the single-syllable word; the two-syllable ‘maman’ has a touch of softness and warmth that is lost with ‘mom’.

Saya terjemahkan bagian yang ditebalkan: “Makna ‘maman’ dalam bahasa Prancis limbung di antara dua ekstrem: ia bukan ‘mother’ yang dingin dan berjarak dan bukan pula ‘mommy’ yang terlampau kekanak-kanakan. Dalam bahasa Inggris, ‘mom’ tampaknya padanan paling dekat untuk kalimat Camus tersebut. Namun ‘mom’ yang bersuku kata tunggal ini masih terasa janggal dan menyentak; ‘maman’ dengan dua suku katanya punya kelembutan dan kehangatan yang tak dimiliki ‘mom’.”

Di sini kita bertemu dengan satu lapisan yang cukup rumit: Urusan hitung-hitungan jumlah suku kata. Dalam penerjemahan puisi, khususnya jenis puisi lama seperti haiku, iambic pentameter, pantun, dan gurindam, hal ini memang penting karena berkaitan erat dengan ritme puisi — bahasa teknisnya: accentual-syllabic rhythm. Akan tetapi, mau tak mau penerjemah harus menyadari bahwa kalimat demi kalimat dalam prosa pun punya ritme, dan penerjemah sastrawi harus siap repot-repot memikirkan perkara suku kata dan ritme ini dalam proses penerjemahan apabila memang diperlukan. Saya pernah menerapkannya dalam proses penerjemahan Lelaki Harimau, kemudian ketika membantu Benedict Anderson menerjemahkan beberapa pantun dalam otobiografi seorang priyayi Jawa yang berjudul asli Djalan Sampoerna. Apabila memang berjodoh, saya pun berniat menggunakan pendekatan accentual-syllabic ini untuk menerjemahkan kumpulan cerpen Benny Arnas bertajuk Cinta Tak Pernah Tua, sebab bahasa yang digunakan oleh Benny dalam cerpen-cerpennya kaya akan tekanan-tekanan ritme khas bahasa Melayu sehingga memberi nuansa tersendiri bagi dunia para karakternya. Bagi sebagian penerjemah, hal ini mungkin tidak terlalu penting, namun bagi saya, melewatkan hal ini berarti melewatkan kesempatan berharga untuk menyedot pembaca karya terjemahan ke dalam dunia pada karya asli, meski pembaca tidak menyadari hal tersebut. Saya tidak mungkin menulis lebih panjang lebar mengenai pendekatan accentual-syllabic ini. Saya hanya bisa bilang, bisa jadi urusan jumlah suku kata dan ritme ini akan menghantui seorang penerjemah dalam menjalankan pekerjaannya, sebagaimana dijelaskan oleh Ryan Bloom terkait novel Albert Camus yang sedang kita bahas.

Sebagaimana telah disampaikan di atas, penerjemah Matthew Ward menerjemahkan “Aujourd’hui, maman est morte” menjadi “Maman died today”. Esai Ryan Bloom menjelaskan bahwa pilihan ini lebih baik daripada “Mother died today” karena tiga hal. Sebelum membahas ketiga hal tersebut, kita pertama-tama harus ingat bahwa terjemahan ini dikhususkan bagi dunianya para pembaca berbahasa Inggris, khususnya di Amerika Serikat. Kalau ini sudah bisa kita mengerti, maka kita akan lebih mudah untuk memahami ketiga alasan yang dimaksud penulis esai tadi, yakni:

1. Bagi pembaca berbahasa Inggris, kata “maman” beserta artinya cukup mudah untuk dikenali. Apabila kita menggali lebih jauh, maka kita temukan bahwa bayi yang baru belajar bicara lebih mudah menghasilkan suara-suara dengan konsonan dwibibir atau bilabial seperti “m”, “b”, dan “p”, serta vokal rendah “a”. Maka tak heran apabila dalam banyak bahasa, kata “mama” untuk menyebut orang tua perempuan, nyaris mirip: dalam bahasa Mandarin ada 媽媽 (māmā), kemudian dalam dalam bahasa-bahasa di India Selatan ada kata “amma”, dan bahasa Norwegia, Italia, Swedia, dan Islandia menggunakan kata “mamma”. Menurut saya sendiri, apabila novel Albert Camus ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan mempertimbangkan segala lapisan yang ada, kata yang cocok untuk digunakan sebagai padanan “maman” adalah “mamak”.

2.  Menggunakan kata asli bahasa Prancis di kalimat pertama dan bukan padanannya dalam bahasa Inggris dapat memberi petunjuk kepada para pembaca bahwa mereka sedang memasuki dunia yang berbeda, bukan dunia yang biasa mereka temui sehari-hari. Saya harus mengingatkan kembali bahwa kita sedang membahas penerjemahan dari bahasa Prancis ke bahasa Inggris. Apabila penerjemahan dilakukan ke dalam bahasa Indonesia, saya rasa akan beda pertimbangannya.

3. Alasan terakhir, menurut Ryan Bloom, lewat penggunaan kata “maman”, pembaca berbahasa Inggris, khususnya di Amerika, tidak akan dikerubungi kesan-kesan yang muncul akibat pemahaman pribadi. Kata ini mudah dimengerti, namun tidak membawa beban. Pembaca tidak akan terpengaruh untuk buru-buru menganggap tokoh utama sebagai sosok yang dingin dan tak berperasaan (lewat “mother”), tidak pula sebagai sosok yang terlalu penuh kasih atau terlampau manis (lewat “mommy”). Meskipun ada ketepatan kesan tertentu yang hilang bagi para pembaca berbahasa Inggris, kata “maman” akan lebih mendekatkan mereka kepada apa yang dimaksudkan oleh Camus dalam kalimat pembuka novelnya ini.

Sebagai kesimpulan dari esainya, Ryan Bloom mengajukan pilihan terjemahan yang  menurutnya paling tepat untuk kalimat pembuka novel Alber Camus ini. Menurutnya, alih-alih “Maman died today”, terjemahannya seharusnya berbunyi: “Today, Maman died.”

Mungkin sampai di sini ada yang sudah berpikir: Aduh, cuma soal mindahin susunan kata sama pakai tanda koma. What’s the big deal?

Di sinilah barangkali kita benar-benar dihadapkan pada beratnya urusan memindahkan suara sang pengarang ke dalam karya terjemahan. Ya, ada tuntutan untuk menciptakan ulang karya, namun perkara pemilihan kata-kata dalam bahasa target pun sudah bisa dibilang “penciptaan ulang karya”. Menciptakan ulang karya tidak berarti penerjemah bebas menerjang berbagai aturan atas nama kreativitas maupun estetika sampai-sampai ia memasukkan suaranya sendiri ke dalam terjemahan. Apabila itu yang terjadi, bisa jadi itu sudah bukan lagi proses penerjemahan, melainkan adaptasi. Bagi saya pribadi, penciptaan ulang yang baik, atau malah yang terbaik, adalah penciptaan ulang yang menghormati suara sang pengarang dalam karya asli.

Kembali ke terjemahan yang diajukan oleh Ryan Bloom, “Today, Maman died”. Mengikuti aturan tata bahasa, terjemahan literal dari “Aujourd’hui, maman est morte” seharusnya adalah “Today, Maman has died.” Dalam bahasa Inggris, penggunaan “has died” terasa janggal. Dalam bahasa Indonesia, kita mungkin tidak akan merasa aneh membaca kalimat “Mamak sudah meninggal.” Akan tetapi, dalam bahasa Inggris, orang yang sudah meninggal dunia umumnya hanya akan berada dalam kungkungan past tense atau past perfect tense, maka terjemahan yang akan terdengar mulus dan alami bagi pembaca berbahasa Inggris adalah “Mother died today” atau, dalam konteks kalimat pembuka novel Albert Camus, menurut Matthew Ward yang tepat adalah “Maman died today”.

Akan tetapi, bukankah kalimat pembuka dalam karya asli memang menggunakan koma? Aujourd’hui [COMMA] maman est morte. Kenapa menurut Ryan Bloom koma itu harus tetap berada pada tempatnya?

Di awal esai, Bloom mengutip pernyataan Arthur Goldhammer, penerjemah sebagian editorial Camus untuk koran Combat. Goldhammer menyebutkan dalam satu tulisannya bahwa ia menganggap teori yang menyebutkan bahwa “good translation requires some sort of mystical sympathy between author and translator” hanya akan mengarah kepada “nonsense”. Omong kosong.

Saya jadi ingat penerjemah Dina Begum pernah mengatakan di beberapa kesempatan bagaimana dia diajarkan oleh temannya yang seorang editor untuk belajar “‘menyatukan ruh’ dengan penulis”. Jadi mungkin kalau menurut Arthur Goldhammer hal semacam inilah yang dimaksud dengan “mystical sympathy” antara penerjemah dengan penulis. Dan menurut Goldhammer, hal semacam ini bisa mengarah kepada omong kosong.

Saya termasuk yang tidak sependapat dengan Arthur Goldhammer. Saya setuju dengan Dina Begum yang pernah menjabarkan kepada saya bahwa idealnya seorang penerjemah itu mencoba untuk mengenali gaya penulis yang karyanya akan ia terjemahkan dengan cara, misalnya, sebagai contoh yang diberikan oleh Mbak Dina: Membaca satu atau dua bab sebelum memulai proses penerjemahan. Apabila seorang penerjemah sudah mengenali gaya penulisan, akan lebih mudah bagi penerjemah untuk memahami maksud si penulis, dan lebih mudah pula bagi penerjemah untuk mengambil keputusan bagaimana menuangkan lapisan-lapisan subteks, katakanlah demikian, ke dalam bahasa sasaran.

Dalam esainya, Ryan Bloom mengkritik pernyataan Goldhammer terkait “mystical sympathy” antara penerjemah dengan penulis. Ia mengatakan istilah itu agak lebay, namun pemahaman antara penulis dan penerjemah tentu tetap perlu dijalin agar hasil terjemahan tak sampai jadi karya yang sumbang.

Sebagaimana sudah saya contohkan sebelumnya, barangkali tidak akan terlalu sulit memahami hubungan antara penerjemah Robert Chandler dengan penulis Hamid Ismailov dalam proses penerjemahan The Railway, sebab keduanya hidup di zaman yang sama. Sementara itu, Albert Camus sudah meninggal dunia. Jadi bagaimana penerjemah yang ingin menerjemahkan karya-karya Camus berusaha “‘menyatukan ruh’ dengan penulis” atau menjalin semacam “mystical sympathy”? Jawabannya tentu dengan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi terkait latar belakang sang pengarang, apa pun itu. Entah itu kondisi keluarganya, kondisi politik ketika suatu karya ditulis, budaya yang mewarnai interaksi tokoh-tokoh dalam novel, dan sebagainya. Dalam hal novel Camus yang berjudul L’Étranger ini, Ryan Bloom menyajikan kepada kita suatu fakta yang telah ia kumpulkan mengenai hubungan Camus dengan ibunya, sesuatu yang kemudian tercermin dalam hubungan tokoh utama dengan tokoh Maman dalam novel.

Sama seperti tokoh ibu dalam L’Étranger yang sulit berkomunikasi, ibunda dari Albert Camus buta huruf, tuli separo, dan agak sukar berbicara. Maka Bloom pun menyimpulkan bahwa: “Both Camus and Meursault yearn for Maman, for her happiness and love, but find the expression of these emotions difficult. Rather than distancing mother from son, though, this tension puts Maman at the center of her son’s life. As the book opens, the loss of Maman places her between Meursault’s ability to live for today and his recognition of a time when there will no longer be a today.”

Saya terjemahkan: “Camus dan Meursault sama-sama mendambakan kebahagiaan dan cinta untuk Maman, namun pengungkapan ekspresi emosi ini begitu sulitnya. Ihwal sulit ini bukannya menjauhkan ibu dari sang putra, namun justru menempatkan Maman di tengah pusaran kehidupannya. Saat kisah dimulai, kematian Maman menempatkannya di tengah-tengah kemampuan Meursault untuk hidup hari ini dan kesadaran dalam benaknya akan suatu masa ketika ‘hari ini’ takkan lagi ada.” Dalam kalimat pembuka, posisi ini diwakili oleh keberadaan kata Maman di tengah-tengah kalimat.

Lebih jauh lagi, Ryan Bloom menyatakan bahwa: Susunan kata-kata kalimat pembuka Camus bukanlah suatu kebetulan: “hari ini disela oleh kematian Maman” dan penyelaan atau interupsi itu diwakili oleh tanda koma, tanda yang, sebagaimana kita pahami, memberi sela, memberi jeda.

Di awal tulisan ini saya katakan saya ingin menawarkan sesuatu yang mendalam. Tapi sekarang, setelah kita baru saja melalui pembahasan tentang mempertahankan gaya atau suara pengarang sampai ke urusan sintaksis — urusan penempatan kata, bahkan penempatan koma, barangkali sebagian besar dari Anda berkata dalam hati: “Ini sih terlalu mendalam. Saya nggak mungkin menganalisis karya sastra yang akan saya terjemahkan sampai sebegitu mendetailnya.” Terhadap pernyataan seperti ini saya akan bilang: “Iya sih, kemungkinan saya juga nggak akan sedemikian mendetailnya menganalisis suatu karya yang akan saya terjemahkan. Atau setidaknya kemungkinan besar tidak akan bisa melihat pola-pola yang sedemikian subtil pada pembacaan singkat sebelum memulai penerjemahan, pada saat menerjemahkan, atau bahkan saat mengedit. Mungkin saya baru akan bisa melihat pola tersebut ketika bukunya sudah terbit, pada pembacaan kesekian.”

Tapi saya juga bisa katakan bahwa sebagai semacam pengantar kepada ihwal penerjemahan sastrawi dan suara sang pengarang, penjabaran-penjabaran tadi bisa membuka mata kita bahwa ada hal-hal yang begitu halus, begitu subtil, begitu mendetail dalam karya sastrawi, dengan lapisan-lapisan subteksnya yang mau tidak mau akan menjadi bahan perbandingan pembaca dan kritikus dalam menilai hasil terjemahan kita nantinya. Jadi, setelah mengetahui semua hal ini, ada baiknya kita betul-betul banyak berlatih menerjemahkan. As they say, practice makes perfect. Seperti yang dikatakan Nuno Rosalino di bagian pertama tulisan ini: “Translating literature is a lot more complicated than it seems. Every word choice matters. Producing mellifluous work is essential, and you don’t get to that point without years of practice.”

Kita kembali kepada keempat poin yang telah kita bahas panjang lebar, dengan beberapa tambahan dan modifikasi. Pertama, every word choice — even arrangement matters. Penerjemah harus siap mempertanggungjawabkan pilihan tiap kata, bahkan terkadang sampai ke urusan susunannya, ke urusan jumlah kata hingga suku katanya, dan bisa jadi ritmenya juga. Sebab hal-hal ini terkait dengan nuansa makna yang telah dipertimbangkan oleh pengarang dalam menuliskan karya. Dan jangan lupa, rangkaian demi rangkaian kata tidak bisa lepas dari berbagai lapisan subteks, yang kadang kala gamblang terbaca, kadang begitu halus dan menuntut kejelian tertentu. Kemudian, meskipun penerjemah karya sastrawi dituntut kreatif menciptakan ulang teks, hal ini perlu dikawal oleh kesadaran untuk menemukan the right balance between accuracy and artistry — keseimbangan antara ketepatan pengalihbahasaan makna dengan gejolak kreativitas pribadi.

Bagi saya, satu hal yang jelas bisa dikatakan tentang penerjemah yang mencermati, memahami, dan mempertimbangkan keempat poin utama yang sudah kita bahas di atas dalam menerjemahkan karya sastrawi adalah bahwasanya ia telah bertanggungjawab kepada pengarang dan proses yang dilewati oleh pengarang untuk menghasilkan karya tersebut, sehingga lebih besar kemungkinan ia bisa dikatakan berhasil dalam menerjemahkannya. Sebab bagi saya pribadi, suatu karya terjemahan sastrawi bisa dikatakan berhasil apabila ia dapat berdiri sendiri sebagai suatu karya yang mengalir saat dibaca dalam bahasa target, sekaligus dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu karya yang menghormati lapisan-lapisan yang terkandung dalam karya orisinal sebagai hasil dari proses penciptaan yang, mau tidak mau, pastilah pelik, sebab…

Karya sastra tidak mengalir begitu saja dari jemari sang pengarang. Ada proses meraup pengalaman lantas memendam dan memeram unsur-unsur dari segenap pengalaman atau momen tersebut untuk dipilah dan dipilih, kemudian menjalinnya dengan berbagai macam perangkat sastra (literary devices) untuk menghasilkan kepuasan tersendiri dalam benak pengarang ketika kata-kata akhirnya mantap berkelindan dalam suatu sajian yang dengannya sang pengarang siap bilang, “Ini karya saya — ini suara saya.”

Dan apabila seorang penerjemah bisa memahami hal tersebut serta memegangnya sebagai suatu panduan dalam benaknya, katakanlah sebagai suatu “panduan simpatik” dalam proses penerjemahannya, maka sang penerjemah telah memiliki modal tersendiri dalam menjawab tuntutan kreatif untuk mencipta ulang teks, sebagaimana disinggung dalam kutipan pendapat Eka Kurniawan di bagian pertama esai ini.

Di sini saya juga ingin sedikit menambahi pendapat Nuno Rosalino. Saya percaya seorang penerjemah yang telah banyak berlatih menerjemahkan, banyak membaca, banyak berdiskusi, dan siap menerima berbagai umpan balik mengenai terjemahannya, tidaklah perlu menjadi seorang penulis karya sastra orisinal — mau karya-karya itu dipublikasikan atau tidak — untuk bisa menerjemahkan karya sastra dengan baik, selama ia memegang erat “panduan simpatik” terhadap proses di balik penulisan karya. Dengan begitu, seorang penerjemah pun pada akhir proses penerjemahan sekaligus penciptaan ulang teks bisa mengatakan, “Ini karya saya.” Namun untuk karya terjemahannya, seorang penerjemah tidak sepatutnya bilang, “Ini suara saya.”

Pada April 2016, saya diwawancarai oleh Words Without Borders untuk nominasi saya bersama Eka Kurniawan untuk Man Booker International Prize. Salah satu pertanyaannya adalah: Apa yang unik tentang proses penerjemahan novel Eka dibandingkan dengan penerjemahan-penerjemahan lain sebelumnya? Dan ini jawaban saya: “I had never done any literary translation longer than a short story before. It was terrifying at first. But I have a degree in English literature, and have published several short stories that experiment with plot and psychology. So it did feel good to peek into Eka Kurniawan’s peculiar mind and to reinvent his characters by re-orchestrating their voices using my vocabulary. But the particular ambiance of Eka’s aggressive sentences often required the strictest attention to word count and rhythm. It was like having a tiger behind my back every time I turned on the computer.”

Seperti yang bisa dilihat pada bagian yang ditebalkan, saya mengatakan bahwa saya sekadar menemukan ulang tokoh-tokoh dan menyusun, atau menata, atau mengarang ulang suara mereka — yakni suara tokoh-tokoh tersebut — lewat kosakata yang saya miliki. Suara Eka Kurniawan sendiri, yang terpatri sebagai ambience kalimat demi kalimatnya yang agresif, membuat saya seringkali harus memikirkan soal jumlah kata dan ritme kalimat-kalimat tersebut.

Demikian pembahasan mengenai penerjemahan sastrawi dan suara dan pengarang. Sebagai penutup, saya berikan di sini delapan tips bagi Anda yang ingin mulai berlatih menerjemahkan karya sastrawi. Ini saya kumpulkan dari beberapa sumber, dan tidak akan saya bahas lebih lanjut. Yang jelas, kalau seluruh pembahasan di ketiga bagian esai ini umumnya terasa abstrak, maka kedelapan tips ini sifatnya lebih umum dan praktis. Dan latihan pertama yang bisa Anda lakukan adalah menerjemahkan kedelapan tips ini dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.

Tips for Aspiring Literary Translators:

  • Try not to translate (and edit) in your own voice/style;
  • Allow yourself to identify with the characters and settings;
  • Get dialogues flowing naturally (or unnaturally, if the original work necessitates it);
  • Punctuation marks can “make or break” your work;
  • Context! Context! Context!;
  • Communicate with the author (or collect as much info as possible if the author is dead);
  • Read aloud to yourself;
  • Get feedbacks (preferably from someone with the experience and knowledge).

One response to “Menerjemahkan Suara sang Pengarang (Tamat)

  1. Pingback: Menerjemahkan Suara sang Pengarang (Bag. 2) | Bekabuluh·

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s