Menerjemahkan Suara sang Pengarang (Bag. 2)

Sambungan dari Bagian 1. Esai ini disampaikan pada Webinar HPI 16 bertajuk “Penerjemahan Sastrawi & Suara sang Pengarang” yang diselenggarakan pada tanggal 20 Februari 2021. Semoga bermanfaat.

***

Kita lanjut ke aspek makro penerjemahan sastrawi. Apa maksud dari “menciptakan ulang teks” dalam penerjemahan? Dan sejauh apa penerjemah diberi kebebasan dalam urusan menciptakan ulang teks agar ia tidak tergelincir dari garis tengah kompromi antara accuracy dan artistry?

Mencari jawaban untuk kedua pertanyaan ini, kita akan sekaligus mulai memasuki inti pembahasan, yakni the author’s voice, atau suara sang pengarang. Apa itu suara sang pengarang? Bagaimana kita mengenali atau membedakan suara pengarang yang satu dengan yang lainnya? Bagaimana menerjemahkan “suara” tersebut ke dalam bahasa lain? Dan lain sebagainya. Banyak pertanyaan, banyak pula yang perlu dibahas. Saya akan hadirkan contoh-contoh pilihan untuk diulas satu per satu. Dan urusan pemilihan kata yang tepat, berikut perkara sensitivitas penerjemah terhadap nuansa, kesan, atau tekstur yang terkandung dalam kata-kata, akan terus “menghantui” kita sepanjang pembahasan, so please bear with me.

Saya ingin mengutip satu kisah yang barangkali sudah cukup dikenal di kalangan penerjemah. Apabila Anda pernah membaca buku Translation in Practice sampai tuntas, pasti pernah menemukan kisah ini: Dalam proses menerjemahkan novel yang nantinya terbit pada tahun 2006 dan diberi judul The Railway, Robert Chandler berkonsultasi dengan sangat intens dengan pengarangnya, penulis dan jurnalis Uzbekistan, Hamid Ismailov. Chandler mengaku mengirimkan empat sampai lima ratus pertanyaan kepada Ismailov dalam setahun. Mereka habiskan banyak waktu mendiskusikan berbagai hal terkait novel yang sedang diterjemahkan, mulai dari lelucon-lelucon kasar, slogan-slogan politik, hingga sastra Sufi.

Saya rasa cukup aman bagi saya untuk mengatakan bahwa sebagian pengarang menghargai dan menikmati proses semacam ini. Yakni proses di mana penerjemah mengutarakan banyak pertanyaan yang relevan demi menggali detail-detail yang terdapat dalam lapisan demi lapisan pada karya yang sedang ia terjemahkan. Hamid Ismailov sendiri mengatakan kepada Robert Chandler mengenai proses mengupas lapisan demi lapisan yang dilakukan oleh sang penerjemah terhadap karyanya sebagai berikut: “I spent many years of my life translating classic and modern literature from one language to another […] but I have never scrutinized any text so carefully as you scrutinized mine. Every single word was held up to the light. A writer is sometimes driven by some very personal association, or by the need for assonance or alliteration. As a result, he leaves some obscure places in his work. You exposed these. But you also helped to make me aware of deeper things.”

Saya terjemahkan: “Bertahun-tahun hidup ini saya habiskan untuk menerjemahkan karya-karya sastra klasik dan modern dari satu bahasa ke bahasa lain […] tapi belum pernah saya meneliti teks dengan sedemikian cermatnya sebagaimana Anda meneliti karya saya. Kata demi kata ditelaah. Seorang penulis kadang didorong oleh asosiasi [makna] yang teramat pribadi, atau oleh kebutuhan akan asonansi atau aliterasi. Untuk itu beberapa sudut dalam karyanya ia biarkan remang-remang. Sudut-sudut itu justru Anda soroti. Tapi dengan begitu Anda justru telah membantu saya menyadari hal-hal yang lebih mendalam.”

Anda mungkin bertanya, “Kok bisa urusan asonansi dan aliterasi saja dicermati?” Entah ini bentuk penghormatan terhadap pengarang dan karyanya, atau memang tergila-gila akan detail, yang jelas, ada penerjemah yang terobsesi sampai ke hal-hal yang seperti ini. Terobsesi sampai ke urusan bunyi. Contohnya…

Akhirnya aku mencari Papa ke sini. Aku menyandarkan tubuhku ke kusen pintu, sambil berusaha melihat ke dalam, sejauh jangkauan mataku memandang. Tubuhku kecil dan ringkih. Nenek paruh baya yang mengunyah sirih itu — penjaga pintu rumah judi, hampir saja luput melihat kehadiranku.

“Papa ada, Nek? Aku anak Bambang. Penting, Nek,” kataku pelan sedikit takut.

“Bambang! Hooiiii, Bambang! Anakmu! Kau dicari!” Nenek itu tidak menjawabku tapi langsung berteriak menggelegar. Percikan air ludahnya yang berbau uzur dan berwarna merah pekat mengenai kulit pipiku dengan semena-mena.

Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa gusar dari dalam. Bunyi gesekan sandal, beradu dengan lantai semen yang kasar.

And so I looked for him here. Pressing my weight onto the door, I looked far into the room, as deeply as my eyes would allow me. With a frame too tiny and frail, I nearly escaped the sight of the betel-chewing old woman — the quiet guard of the gambling den.

“Ma’am, is my father here? I’m Bambang’s daughter. It’s important,” I softly said with unease. 

The woman answered the question by calling out my father directly, as loudly as she could. “Bambang! Ooyyyy, Bambang! Your daughter’s here!” Some of her saliva, thick red and smelling of old age, landed everywhere on my cheeks.

Sounds of hurried, angry footsteps followed. Of flip-flops dragged across a coarse concrete floor.

Pengarang cerpen ini telah menuangkan perhatian khusus untuk menarik pembaca pada paragraf: “Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa gusar dari dalam. Bunyi gesekan sandal, beradu dengan lantai semen yang kasar.” Perhatikan, pada dua kalimat ini kita temukan aliterasi “gesa-gesa”, “gusar”, dan “gesekan”, kemudian “dari”, “dengan” dan “dalam”, lantas “sandal” dan “semen”. Ada pula rima pada “gusar” dan “kasar”. Sementara untuk asonansi, penekanan kita temui pada bunyi [e] dan [a].

Apa ini penting? Bisa jadi penting, bisa jadi tidak. Lagi-lagi ini masalah lapisan-lapisan pada teks asli yang perlu dikupas untuk menentukan apakah penerjemah perlu mengantarkan subteks tertentu dengan baik dari bahasa sumber ke bahasa target, atau apakah hal itu justru akan mengganggu pembacaan hasil terjemahan. Untuk contoh yang satu ini, saya merasa perlu mempertahankan kesan penyangatan yang tertuang pada teks asli, yang menggambarkan ketakutan seorang anak akan ayahnya. Apalagi latarnya begitu mencekam, yaitu rumah judi, dengan penjaganya seorang nenek pengunyah sirih. Bagi saya, bagian ini terlalu berharga untuk diterjemahkan secara biasa-biasa saja.

Kembali ke kisah penerjemahan novel The Railway. Setelah membaca komentar dari pengarangnya, mari kita baca pernyataan dari penerjemahnya: “There were scenes I did not understand because I did not know enough about Muslim life, scenes I did not understand because I did not know enough about Soviet life, and scenes where I was confused by the complexity of the interface between the two. […] Towards the end of my work on the novel I began to feel as if I were restoring a precious carpet. Patterns I had sensed only vaguely, as if looking at the underside of the carpet, began to stand out clearly; seemingly unimportant details in one chapter, I realized, reappeared as central themes of other chapters. Colours grew brighter as I sensed their inter-relationship. Occasionally I even felt able to suggest to Hamid that a particular thread should be moved from one part of the carpet to another.”

Saya terjemahkan: “Ada adegan-adegan yang tidak saya pahami karena tidak cukup akrab dengan peri kehidupan Muslim, adegan-adegan yang tidak saya pahami karena tidak cukup akrab dengan peri kehidupan Soviet, dan adegan-adegan yang membingungkan akibat begitu rumitnya ranah interaksi keduanya. […] Menjelang akhir penerjemahan novel ini saya pun mulai merasa seperti tengah memugar satu permadani berharga. Pola-pola yang semula tampak samar, ibarat hanya melihat alasnya, lantas mulai tampak jelas; saya pun menyadari, detail-detail yang di satu bab terkesan tidak penting, di bab-bab lain muncul kembali sebagai tema-tema inti. Warna-warna kian semarak ketika keterkaitan detail-detail itu bisa saya maknai. Saya bahkan terkadang merasa mampu memberi saran kepada Hamid bagaimana helai tertentu dari permadani tersebut hendaknya dipindahkan dari bagian yang satu ke bagian yang lain.”

Robert Chandler mengumpamakan proses penerjemahannya seperti mengidentifikasi pola-pola, dan ia belajar untuk mengenali helai demi helai yang menyusun pola-pola tersebut. Di banyak kesempatan, terkait penerjemahan sastrawi, saya lebih senang menggunakan istilah “lapisan-lapisan” — “layers”. Dari kutipan-kutipan di atas, kita mengetahui bahwa dalam proses penerjemahan The Railway, Roberth Chandler banyak berkonsultasi dengan Hamid Ismailov untuk mengenali, antara lain, lapisan demi lapisan sosio-kultural novel tersebut.

Suatu karya terdiri dari begitu banyak lapisan. Di balik lapis demi lapis teks yang tersaji, ada lapisan pesan dan pengalaman. Susunan kata demi kata itu dapat mengandung lapisan visual, lapisan emosional, lapisan sosio-kultural, lapisan spiritual/religius, lapisan politis, lapisan latar waktu, atau lapisan latar tempat. Dari sisi teknis, ada lapisan ritme, lapisan alur, lapisan majas, lapisan bunyi, dan lain sebagainya.

Penulis, pembaca, maupun penerjemah bebas menambahkan lapisan lain sesuai kebutuhan maupun sesuai kemampuan untuk mengidentifikasinya. Dan ketika membaca suatu karya, terutama apabila dilakukan lebih dari satu kali, kita akan menemukan betapa sering lapisan yang satu menjadi bagian dari lapisan yang lain, atau bagaimana lapisan yang satu tumpang tindih dengan lapisan yang lain.

Ketika paragraf demi paragraf penggambaran kebun bunga sang ibu dalam Lelaki Harimau berangsur-angsur hadirkan sedikit keindahan pada rumah reyot keluarganya, namun lama-kelamaan justru menjadikannya lebih mengerikan daripada keadaannya semula, saya akhirnya betul-betul memahami rasa benci yang begitu sabar dalam benak karakter sang ibu. Di situlah lapisan visual berkelindan dengan lapisan emosional. Dan saya tidak bisa tidak angkat topi terhadap kesabaran Eka Kurniawan dalam menyajikan tahap demi tahap perkembangan karakter sang ibu yang sedemikian utuh, salah satunya lewat metafora berubahnya kebun jadi belukar.

Berikut ini contoh lain bagaimana identifikasi lapisan-lapisan di balik teks membantu pekerjaan saya sebagai penerjemah. Ketika saya menerjemahkan novel Panggil Aku Mama karya Tya Subiakto, pada satu bagian, saya memilih menerjemahkan “alat pendeteksi detak jantung” ke dalam bahasa yang lebih teknis, yakni “electrocardiogram machine”, karena saya merasa para calon pembaca novel ini dalam bahasa Inggris akan lebih familiar dan lebih mudah memvisualisasikan alat tersebut lewat istilah teknisnya. Salah satu pertimbangannya sederhana: Target pembaca terjemahan novel ini saya anggap lebih paham istilah-istilah medis yang sudah mereka lahap lewat serial-serial televisi seperti ER, House, The Good Doctor, Scrubs, General Hospital, Grey’s Anatomy, dan puluhan judul lainnya. Selain itu, apabila yang digunakan adalah “heart rate monitor”, maka istilah ini merupakan istilah umum yang dapat merujuk kepada beberapa jenis alat sekaligus, tidak spesifik kepada alat yang biasanya digunakan di rumah sakit, yang terdiri dari banyak kabel dan sensor. Meski tidak sempat menanyakan hal ini ketika kami melakukan editing bersama, bisa saja Mbak Tya pun sempat terpikir untuk menggunakan istilah teknis dalam penyebutan alat tersebut, namun memilih untuk menggunakan bahasa yang lebih sederhana dengan pertimbangan sebagian besar pembaca targetnya tak paham apa itu mesin elektrokardiogram. Di sini, dalam praktik, saya sebagai penerjemah mendedah lapisan visual yang mengandung lapisan teks sesederhana “alat pendeteksi detak jantung”. Saya buka jalan bagi lapisan latar tempat dan lapisan sosio-kultural untuk dipertimbangkan agar lapisan visual yang perlu diterjemahkan tadi tergambarkan dengan baik, yakni ada seorang pasien yang sedang terbaring di rumah sakit dan kondisinya mengenaskan.

Saya telah menyajikan dua contoh yang ada sangkut-pautnya dengan kata “ibu” dan “mama” bukan tanpa alasan. Untuk memperjelas bagaimana seorang penerjemah dalam tanda kutip “mencipta ulang” suatu karya ke dalam bahasa lain, dalam hal ini dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris, saya akan menyajikan lima contoh bagaimana kata “ibu”, atau panggilan “ibu”, atau kata yang serupa itu digunakan atau dihadirkan dalam lima karya, dan bagaimana ia diterjemahkan.

Kita mulai dengan novel Lelaki Harimau. Yang sudah membacanya barangkali masih ingat aftertaste atau jejak rasa yang ditinggalkan oleh novel ini di dalam benak. Bagi saya, kesan dingin, kaku, kasar, hingga bengis tersimpan dalam kenangan tiap kali mendengar judul Lelaki Harimau atau Man Tiger. Dan kata-kata dingin, kaku, serta tragis — meskipun pas — tidak akan cukup untuk menggambarkan kesan yang saya simpan tentang tokoh Nuraeni, karakter ibu dalam novel ini.

Penggambaran hidup Nuraeni memang tersaji gamblang lewat detail-detail dalam lembar demi lembar Lelaki Harimau, sejak ia hadir sebagai seorang gadis desa manis, lugu, dan penuh harapan, sampai ia menjadi istri yang sering disakiti, kemudian seorang ibu yang menua dalam kepedihan dan dendam yang begitu mendalam. Akan tetapi, kesan dingin, kaku, serta tragis ini tidak hanya bersumber dari sajian demi sajian deskripsi kehidupan Nuraeni, namun juga pilihan-pilihan teknis yang konsisten, suatu pola, yang diterapkan oleh Eka Kurniawan selaku pengarang. Ada tiga pilihan teknis yang mencerabut lapisan kehangatan dari penokohan Nuraeni sampai ke akar-akarnya.

Dalam novel ini, tidak ada kata “ibu” atau yang serupa itu dalam kalimat-kalimat langsungnya. Tidak sekali pun karakter-karakter di dalam novel ini, baik itu karakter-karakter utama maupun karakter-karakter pendukung, mengucapkan kata “ibu” dalam dialog-dialog mereka. Satu-satunya momen di mana kata “ibu” disebutkan oleh tokoh utama untuk merujuk kepada ibunya tetap berada dalam kungkungan narasi, yakni ketika ia membisikkan kepada adiknya bahwa ibu mereka sedang hamil:

“Pada masa itulah Margio merasakan perubahannya, melihatnya lebih berias dan cemerlang dan cantik tanpa pernah ia melihat ibunya seperti itu di tahun-tahun kebersamaan mereka, dan lama setelahnya kemudian Margio sadar roman cantik itu datang dari bayi perempuan yang meringkuk di rahimnya, membisikkan itu pada Mameh bahwa ibu mereka tengah hamil, dan keduanya terpesona akan penantian jabang bayi yang tak terduga-duga.”

“It was then that Margio began to sense the change in his mother. She was better dressed, more lively, and prettier than he had ever seen her. Much later on, he would realize that the glow originated with a baby girl nestled in her womb. He whispered to Mameh that their mother was pregnant, and both were awed as they waited for the unexpected baby.”

Hilangnya kata “ibu” dalam kalimat-kalimat langsung seolah mengikis satu lapis kehangatan, memperkuat nuansa dingin, kaku, dan kasar dalam novel ini. Pengarang telah menghilangkan potensi munculnya lapisan rasa nyaman yang khas dalam benak pembaca seandainya kata “ibu” atau kata lain serupa itu tertera dalam kalimat-kalimat langsung, terutama jika kata itu digunakan sebagai kata sapaan atau panggilan untuk tokoh ibu utama, atau untuk tokoh-tokoh ibu pendukung sekalipun. Akibatnya, sang ibu ada namun seakan-akan tiada, dan demikianlah penokohan Nuraeni yang sedemikian tertekan dan menderita akibat perlakuan suaminya yang bengis. Ini pilihan teknis yang begitu subtil, yang seolah-olah tersembunyi di balik pilihan teknis yang lebih gamblang, yakni penggunaan sudut pandang orang ketiga, yang cenderung menghadirkan jarak antara pembaca dengan cerita dan tokoh-tokoh.

Maka bagi saya sebagai penerjemah, pilihannya jadi mudah. Kata “ibu” cukup diterjemahkan sebagai “mother”. Seandainya ada pilihan kata lain yang digunakan pengarang dalam novel ini, misalnya kata “mak” atau “bunda”, tentu akan lain ceritanya. Namun nama “Ma Soma” sebagai salah satu karakter yang paling awal muncul dalam novel ini justru nama laki-laki. Maka demikianlah “mother” saya pilih sebagai padanan, karena dalam senarai pilihan yang ada, hanya itu yang terasa netral, kalaulah bukan formal atau bahkan kaku, statis. Maksud saya, ketika ditempatkan dalam lingkungan kisah yang hangat, maka hangatlah kata “ibu” atau “mother” itu. Namun ketika ia tak sekali pun muncul dalam kalimat langsung, seperti dalam Lelaki Harimau atau Man Tiger, maka ia pun terasa sebagai kata yang begitu kaku dan tersisih.

Kita beralih ke karya lain yang pernah saya terjemahkan. Dalam “A Ming Alias Mintono”, cerpen lain dari Caroline Wong, kita diperkenalkan kepada keluarga sederhana yang terdiri dari tokoh anak laki-laki dan ibunya. Sang anak memanggil ibunya dengan kata panggilan “Mamak” atau “Mak”. Dibuka dengan adegan pada suatu subuh yang sejuk, pilihan kata-kata dalam cerpen ini, terutama kata “Mamak”, menjanjikan kehangatan.

Dalam kesejukan subuh, Mamak sudah ada di dapur. Menghadap ke meja kayu tua yang dilapisi plastik bersih licin berkilau diterpa sinar lampu kuning.

Mamak sedang menghajar adonan-adonan tepung terigu di singgasana pagi, membuat roti goreng untuk jualanku di depan pagar sekolah. Bunyi gemerincing minyak panas tercelup adonan roti menjadi tanda aku harus segera bangun dan bersiap-siap. “Selagi masih panas mengepul!” Begitu kata Mamak selalu.

“A Ming, jangan lupa! Seratus rupiah itu kalau dua roti goreng, kalau satu saja, berarti hanya lima puluh rupiah!” Mamak masih sempat menjerit dari dalam ketika aku sudah siap membalik badan keluar dari pintu rumah. Di tangan kananku siaga keranjang plastik hijau, ada puluhan roti goreng panas dengan wangi minyak kelapa yang manis. Badanku sedikit condong ke kanan, berat.

“Iya, Mak, diulang-ulang terus kalau Mamak bicara!” keluhku sedikit jengkel.

In the coolness of dawn, Mamak would appear in her kitchen. She would stand before the old wooden table covered with a clean, sleek plastic sheet that glistens under the incandescent gleam.

Under the majesty of the first light, she would knead her all-purpose flour dough balls to make pieces of fry bread, which I’d later be selling by the entrance gate of the nearest school. The crackling sound of dough pieces sliding into hot oil is sign that I have to get up quickly and get ready. As Mamak always says: “Go bring ‘em while they’re piping hot!”

“A Ming, don’t forget! One hundred rupiahs are for two loaves of fry bread, so one loaf means fifty rupiahs only!” Mamak’s shrieks can be heard from far inside the house just as I turn around to exit the front door. I have the green plastic basket in my right hand, carrying dozens of hot pieces of fry bread that give off the sweet scent of coconut oil. I have to tilt slightly to the right — it’s heavy.

“Yes, Mak! You tell me that every day!” I reply with a grumble.

Kisah ini lucu sekaligus agak memilukan. Membacanya, kita tahu Mamak dan A Ming adalah pekerja keras. Mamak bangun pagi-pagi untuk membuat roti goreng, lalu A Ming berangkat untuk menjualnya di depan gerbang suatu sekolah. Dari ucapan-ucapan Mamak di awal cerita, kita tahu Mamak khawatir kalau A Ming lagi-lagi akan salah memberi harga pada roti goreng jualannya, sementara A Ming kesal tiap kali Mamak mengungkit-ungkit hal tersebut. Pembaca pun jadi cemas, jangan-jangan A Ming yang lugu akan melakukan kesalahan lagi hari ini. Di akhir cerita, kita ikut sedih karena meski tidak salah memberi harga, A Ming ternyata ditipu oleh siswa-siswa yang nakal.

Pertama kali membaca cerpen ini, saya sudah tahu bahwa ketika nanti menerjemahkannya, saya tidak mungkin mengubah kata “mamak” atau “mak” menjadi “mother”. Ada begitu banyak lapisan makna yang terkandung dalam kata “mamak” dalam cerpen ini, sehingga menghilangkan kata itu dari terjemahannya hanya akan mencerabut lapisan-lapisan makna tersebut. Kata “mother” tidak akan pernah setara dengan kata “mamak” dalam konteks ini, karena kata tersebut adalah kata yang khas dalam dunia A Ming, ibunya, serta sang pengarang itu sendiri. Maka, bukan saja saya tidak menghilangkan kata “mamak”, saya pun tidak memiringkan penulisan kata tersebut dalam terjemahan cerpen ini. Saya hanya membuat catatan singkat di akhir cerpen bahwa: “Mamak” is one of many terms in Indonesian meaning “mother”.

Satu contoh lain, dari novel Panggil Aku Mama, adalah bagian di mana saya harus menerjemahkan adegan suami yang meminta istrinya untuk memanggilnya “Papa”, kemudian sang istri gantian meminta suaminya untuk memanggilnya “Mama”.  Dari keseluruhan novel, ini bisa dibilang bagian yang paling rumit untuk diterjemahkan. Bukan karena sulit mencari kandidat padanannya — justru itu sangat mudah — namun karena unsur sosio-kultural yang melapisi bagian ini bisa dimaknai begitu berbeda apabila diterjemahkan apa adanya.

Naskah terjemahan Panggil Aku Mama yang diberi working title Call Me Mother rencananya akan diterbitkan tahun depan oleh Hurn Publications, satu penerbit di Amerika Serikat. Jadi novel terjemahannya belum terbit, dan saya belum tahu perubahan-perubahan apa saja yang akan muncul dalam hasil terjemahan saya dan hasil penyuntingan saya bersama Tya Subiakto. Yang jelas, terkait adegan tadi, saya agak ngeri membayangkan apa yang akan muncul dalam benak pembaca di Amerika Serikat ketika menemukan adegan yang sudah saya sebutkan tadi: Ada suami yang meminta istrinya untuk memanggilnya “Papa”, kemudian istrinya memintanya pula untuk memanggilnya “Mama”. Jika diterjemahkan apa adanya, novel ini bisa-bisa dikira novel kinky. Sependek pengetahuan saya, bagi masyarakat di Amerika Serikat, tidak banyak konteks di luar urusan ranjang atau fantasi seksual di mana suami-istri menggunakan panggilan “Mommy” dan “Daddy” untuk satu sama lain — dan itu jelas bukan maksud dari adegan ini.

Itulah sebabnya, saya dan Mbak Tya kemudian sepakat untuk membubuhkan keterangan tambahan di paragraf yang sesuai. Kalimat tambahan itu berbunyi: “Of course, it wasn’t culturally odd for a wife to call her husband the same way their children refer to him, but the shift would take a little getting used to.” Harapannya, pembaca akan menangkap ini sebagai petunjuk yang jelas bahwa memanggil “Papa” dan “Mama” adalah hal wajar dalam interaksi sehari-hari pasangan suami istri di Indonesia, negara asal novel ini. Kalau kata “Mama” pada judul novel, yang diterjemahkan menjadi “Mother”, konteksnya sudah berbeda. Tapi saya tidak akan membahas hal itu di sini.

Berikutnya, saya akan tampilkan cuplikan cerpen saya sendiri…

Puck menawarkan atau lebih tepat meminta dengan agak mendesak agar aku ikut dengannya ke negeri kecantikan. Tempat orang takkan dikekang sakit hatinya sendiri. “Kenapa, kenapa Nyonya bersedia dipenjara air mata lalu menahan pilu yang mengunyah cuil demi cuil eksistensimu?”

Jawabku, kenapa kau mengira aku bisa terbang di belakangmu sementara aku adalah nyawa hutan ini? Peri sayang, kau bukan El Maut bukan? Ha ha, kau bahkan tak bisa bedakan mana nyawa mana badan. Pergilah, tak usah ingat aku lagi juga tempat ini. Tak cocok kenangan akan Pertiwi dengan kau peri penuh nuansa ceria.

Bibir Puck menggeletar. Ia peri yang masih muda tapi ia mengerti dan mulai menangis. Bulir-bulir air mata menitik ke tanah menyentak debu-debu terhalus, kemudian berubah menjadi berlian dengan ribuan faset. Kupungut batu-batu bening itu.

“Ambillah, Nyonya. Air mataku belum tersentuh udara pengab hutan ini. Simpan dekat jantungmu. Walau tak saya ingat Nyonya, tapi ingatlah saya.”

Ini adalah cerpen pertama saya yang dimuat di media, yakni di Horison pada tahun 2002. Saat itu, saya masih duduk di bangku SMA. Saya mengirimkan naskah cerpen ini dengan tajuk yang berbeda. Kemudian salah satu editor Horison memberikan judul “Peri Puck, Pertiwi & Bunga Cinta”.

Ketika saya kuliah di Sastra Inggris UGM, saya berkenalan dengan seorang mahasiswi Kedokteran UGM bernama Nor Huda Mohd. Izam. Dia berasal dari Malaysia, dan sangat fasih berbahasa Indonesia dan Inggris. Kami kemudian menjadi cukup dekat, dan saya menawarkannya untuk menerjemahkan cerpen ini, karena saat itu ada rencana menerbitkan kumpulan cerpen bilingual bersama dua rekan menulis saya, Astrid Reza dan Abmi Handayani. Proyek penerbitan kumcernya gagal, tapi saya bersyukur karena beberapa cerpen saya berhasil diterjemahkan.

Saya menyerahkan cerpen ini kepada Nor Huda alias Nana, lalu saya sama sekali tidak terlibat dalam proses penerjemahannya, sebab saya sangat percaya dengan kemampuan bahasa Inggrisnya, serta pengetahuannya yang cukup baik tentang karya-karya Shakespeare. Cerpen ini saya tulis dengan mencomot karakter Peri Puck dari naskah drama Shakespeare yang berjudul “A Midsummer Night’s Dream”. Ceritanya, ketika Peri Puck ditugasi untuk mencari bunga cinta yang sarinya dapat membuat seseorang jatuh cinta, Peri Puck berkelana jauh sampai ke negeri yang hancur lebur, dengan penjaga hutannya yang bernama Pertiwi. Cerpen ini tergolong fabel dan penuh dengan simbol. Saat itu saya berharap besar pada kemampuan Nana untuk dapat menerjemahkan semua lapisan yang ada di dalamnya dengan baik.

Puck bargained, nay, more accurately he begged me to come with him to the country of beauty. A land whose people were not held back by the bitterness in their own hearts. “Why, why wouldst thou be so readily imprisoned by tears and keep such sorrow that maims bit by bit of thy existence?”

I answered, where did this notion come from that I would be able to fly behind you when I am the energy that holds this forest? Dear Faery, you are not my dear pal the Grim Reaper, are you? Ha, ha, you can’t even see the difference between soul and body. Leave, do not keep memories of me nor this place. Befriending an Ol’ Earth like me suits you not, my cheery fairy friend.

Puck’s lips trembled. He was a young fairy but he understood and started crying. Pearly tears fell down and disturbed the finest dusts, and singly transformed into a-thousand-faceted diamonds. I collected the translucent stones.

“Hold on to them, Madam Pertiwi. My tears had not been touched by this forest’s musty air. Tend to them near your heart. Thou may later be far from my memories, but please remember me.”

Ketika menerima hasil terjemahan, yang saya baca melebihi ekspektasi, termasuk untuk urusan penerjemahan judul. “Peri Puck, Pertiwi & Bunga Cinta” ia terjemahkan menjadi “Faery Puck, Ol’ Earth & the Love Flower”. Ingat, di sini posisi saya adalah penulis, bukan penerjemah. Dan sebagai penulis yang puas dengan hasil terjemahan ini, saya ingin mengajak Anda untuk menganalisis judul cerpen ini. Ada satu bagian yang berubah: “Pertiwi” diterjemahkan menjadi “Ol’ Earth”. Apa kira-kira yang mendasari pengambilan keputusan ini oleh penerjemah, dan apa yang membuat saya sebagai penulis puas dengan perubahan nama pada judul sehingga saya mempertahankannya? Petunjuk pertama ada pada bagian yang sudah saya tebalkan pada kutipan di atas.

Dan ini petunjuk berikutnya…

“Bagaimana denganmu, Nyonya? Masihkah Anda punya cinta?”

Ha, ha, ha, ha. Kau jangan pura-pura tidak sadar kalau aku ini buruk rupa, Peri. Dan makananku kini adalah tetumbuhan yang menyerap sari-sari mayat, udara di sini telah terpolusi dusta dan pengkhianatan besar-besaran. Kukatakan padamu, sekalipun ada satu Bunga Cinta tumbuh di sini, pasangan-pasangan kekasih takkan terangsang karenanya. Ia bukan lagi afrodisiak melainkan racun dengki.

Jeda.

Tak mendapatkan yang dicari, Peri Puck pergi. Namun ia sempat berjanji, “Kalau saya temukan Bunga Cinta itu, akan saya berikan satu untukmu, teteskan getahnya di mata kekasih idaman, dan saya berdoa semoga Nyonya mengenal lagi apa artinya cinta.”Pertiwi, panggil saja aku Pertiwi.

“How about you, Madam? Does love still reside in thine eyes?”

Ha, ha, ha, ha. Do not pretend not to notice how atrocious I look, Faery. I now feed upon plants that absorb the juice of corpses and breathe the air polluted by lies and treachery of titanic proportions. I’ll tell you this: Should you find a Love Flower blooming here, lovers would not idly fall in lust because of it. It is no more an aphrodisiac but a cancerous spite.

Pause.

Not finding what he was seeking, Faery Puck left. Yet he warranted a promise, “Should I find the Love Flower, I shall furnish thee my surplus. Drip a drop of its wax upon the eyes of your dreamy betrothed, and pray that you would once again appreciate the meaning of love, Madam.”

My name is Pertiwi Ol’ Earth. You can call me Pertiwi.

Sebagai pembaca berbahasa Indonesia, kita mungkin bisa langsung memaknai hubungan antara pemilihan nama “Pertiwi” dengan frasa “ibu pertiwi”. Seandainya Nana menerjemahkan kalimat: “Pertiwi, panggil saja aku Pertiwi” apa adanya, tanpa menambahkan “Ol’ Earth”, maka tentu lapisan makna “ibu pertiwi” akan hilang begitu saja dalam cerpen versi terjemahan. Itulah sebabnya, saya senang sekali dengan hasil terjemahan ini. Dia tidak serampangan menerjemahkan “Pertiwi” sebagai “Earth”. Nana menghadirkan lapisan makna “mother earth” pada pilihan kata-kata “Ol’ Earth”. Dan dengan pilihannya tersebut sebagai penerjemah, ia tidak saja menjaga makna “ibu” dalam nama “Pertiwi”, tapi juga memberikan Pertiwi nama belakang, sesuatu yang lazim di banyak negara, termasuk di negeri-negeri berbahasa Inggris. Jadi, sekali dayung, banyak negeri terlampaui.

bersambung ke Bagian 3

2 responses to “Menerjemahkan Suara sang Pengarang (Bag. 2)

  1. Pingback: Menerjemahkan Suara sang Pengarang (Bag. 1) | Bekabuluh·

  2. Pingback: Menerjemahkan Suara sang Pengarang (Tamat) | Bekabuluh·

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s