Menerjemahkan Suara sang Pengarang (Bag. 1)

Tulisan ini disampaikan sebagai suatu kuliah singkat pada Webinar HPI 16 bertajuk “Penerjemahan Sastrawi & Suara sang Pengarang” yang diselenggarakan pada tanggal 20 Februari 2021. Meski acara berlangsung hanya sekitar dua jam, tidak termasuk tanya jawab, namun teksnya sendiri terdiri dari 25 halaman. Maka dari itu, di blog ini, esai ini akan saya penggal menjadi tiga bagian. Semoga bermanfaat.

***

Suatu sore pada pertengahan bulan lalu, saya dan istri sedang jalan-jalan di Godean, suatu kawasan di sebelah barat dari Kota Yogyakarta. Satu pesan lantas masuk ke gawai saya. Pesan dari Mas Ade Indarta, salah satu tokoh penting Himpunan Penerjemah Indonesia. Beliau menanyakan kesediaan saya untuk mengisi satu webinar. Temanya: penerjemahan sastra. Topiknya terserah saya.

Permintaan yang dilematis. Di satu sisi, saya senang sekali, organisasi penerjemah Indonesia ternama ini meminta saya untuk menjadi pembicara seminar daring mereka — tentu suatu kehormatan. Namun di sisi lain, apabila temanya adalah penerjemahan sastrawi, maka tentu banyak yang lebih mumpuni untuk angkat bicara. Jika dihitung, untuk karya sastra, jumlah novel yang telah saya terjemahkan hanya dua, selebihnya adalah beberapa cerita pendek, beberapa puisi, satu naskah film, dan satu buku anak-anak. Pengalaman penerjemahan sastra saya cuma sampai di situ, sehingga kedalaman pembahasan yang bisa saya tawarkan rasa-rasanya cukup terbatas. Memang, aneka jenis karya sastrawi yang saya sebutkan tadi semuanya saya terjemahkan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris, sehingga saya pun berpikir ada baiknya temanya diperkecil: penerjemahan sastrawi dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Tapi itu pun masih terlalu luas dan mengawang-awang.

Untuk membantu saya menentukan topik dan menyusun presentasi, saya lantas melemparkan pertanyaan kepada beberapa rekan penerjemah. Pertanyaannya: Jika Anda mendaftarkan diri ke suatu pelatihan penerjemahan sastrawi, apa yang ingin Anda capai di akhir pelatihan? Satu jawaban yang membuat saya berpikir panjang adalah: Kemampuan untuk dapat menerjemahkan suatu karya yang hasilnya sama mendalamnya dengan karya asli.

Jadi topik apa kiranya yang bisa saya tawarkan, yang dapat memberikan suatu kedalaman yang cukup berharga untuk disimpan dan, siapa tahu, bisa diterapkan setelah seminar usai?

Saya pun teringat satu adagium: Write what you know. Jika hendak menulis, tuliskan yang kau tahu. Jangan mencoba mengarang-ngarang demi mengundang decak kagum semata. Saya rasa ini adalah panduan yang bagus bagi saya dalam mempersiapkan diri menjadi pembicara bagi seminar online ini. Jika saya memang dipercaya untuk menyampaikan sesuatu terkait penerjemahan, maka saya semestinya menyampaikan apa yang saya akrabi — yang saya ketahui dengan baik, atau setidaknya cukup baik. Hal-hal yang telah saya alami sendiri sebagai pribadi yang kebetulan pernah menerjemahkan karya-karya sastrawi. Jadi, seminar ini akan menjadi semacam medium berbagi pengalaman. Dan saya patut bersyukur bahwa yang bisa saya bagikan bukan hanya pengalaman saya di dunia penerjemahan sastrawi, namun juga pengalaman saya sebagai penulis karya sastrawi. Pada titik ini, saat ini, saya bisa menempatkan diri sebagai pengarang yang sebagian karya-karya sastrawinya telah diterjemahkan (oleh penerjemah lain), dan saya pun bisa menempatkan diri pada posisi penerjemah yang telah menerjemahkan beberapa karya sastrawi pengarag lain.

Sebagai perkenalan, saya ingin bercerita sedikit. Sebagaimana banyak orang, saya jatuh cinta pada dunia fiksi lewat dongeng-dongeng, baik itu yang diceritakan oleh almarhum Papa kepada anak-anaknya sebelum tidur, atau yang tertulis dalam buku-buku dongeng nusantara maupun dunia yang beliau belikan sampai bertumpuk-tumpuk. Ketertarikan ini berlanjut sampai saya remaja. Ketika bersekolah di Lyneham High School di Canberra, Australia, sebagai seorang anak Asia yang tak punya teman, saya sering menyendiri di perpustakaan SMP tersebut untuk membaca banyak karya berbahasa Inggris. Yang paling menarik perhatian saat itu adalah Shakespeare dan Edgar Allan Poe.

Kebiasaan menyendiri di perpustakaan ini berlanjut hingga SMA, ketika kami sekeluarga telah kembali ke Indonesia dan saya bersekolah di SMA Negeri 2 Yogyakarta. Saat itu, SMA ini punya perpustakaan kecil yang berantakan. Mungkin penjaga perpustakaannya lelah oleh ulah sebagian siswa yang malas mengembalikan buku ke tempatnya semula. Maka saya pun membantu penjaga perpustakaan tersebut. Diam-diam saya susun buku-buku ke raknya masing-masing, dan pada suatu hari saya menemukan setumpuk majalah di satu rak kecil. Majalah itu bertajuk Horison. Lewat perpustakaan kecil tersebut, saya berkenalan dengan karya-karya pengarang Indonesia yang sebelumnya hanya saya kenal namanya atau cuplikan karyanya di buku-buku teks bahasa Indonesia: Ada A.A. Navis yang kebetulan punya nama kecil mirip nama saya. Ada Pramoedya Ananta Toer. Ada Rendra. Ada Hamka. Ada Nh. Dini. Ada Motinggo Boesje, dan lain-lain. Lewat Horison, saya berkenalan dengan karya-karya sastrawi Indonesia kontemporer.

Di bangku kuliah, saya lanjut membaca karya-karya penulis sastra Indonesia kontemporer. Sampai akhirnya, dengan langkah malu-malu saya masuk mengendap-endap untuk mengintip-intip kondisi di dalam lingkaran-lingkaran para penulis kontemporer di Yogyakarta dan Jakarta, seperti ON/OFF, Horison, Jurnal Cerpen Indonesia, Boemipoetra, Utan Kayu, IKJ. Hingga saya pun pernah tinggal serumah bersama beberapa penulis seperti Ucu Agustin, sutradara Paul Agusta, penyair Papa Leon Agusta, dan penerjemah Mama Maggie Agusta. Sempat pula saya membuat semacam kelompok diskusi sastrawi bersama penulis-penulis perempuan Astrid Reza, Abmi Handayani, penyair Dina Oktaviani, dan penyair Nor Huda Mohd. Izzam.

Terkait penerjemahan, meski sudah mulai menerjemahkan teks-teks akademis maupun legal sejak bangku perkuliahan, saya mulai memberanikan diri menerjemahkan karya sastra di bawah bimbingan mendiang Mama Maggie Agusta, ketika saya tinggal satu apartemen di Jakarta bersama beliau, bersama suaminya juga, Papa Leon Agusta, dan anak mereka Paul Agusta. Dengan bantuan Mama Maggie pula, tulisan-tulisan saya dimuat di The Jakarta Post, termasuk dua cerita pendek yang ditulis langsung dalam bahasa Inggris. Dan bersama Paul Agusta, saya mengembangkan satu naskah film berjudul Kado Hari Jadi, yang sempat diputar di Rotterdam Film Festival. Saya pun lanjut menjajal kemampuan sebagai wartawan features tetap, lantas wartawan lepas, di Jakarta Globe, sembari terus menulis fiksi dan menerjemahkan fiksi.

Kemudian, dari lingkar pertemanan kecil saya dengan dua penulis Astrid Reza dan Abmi Handayani, saya berkenalan dengan Benedict Anderson, yang kemudian mempertemukan saya dengan Eka Kurniawan dan meminta saya menerjemahkan novelnya, Lelaki Harimau. And the rest is history.

Semua pengalaman ini membuat saya tidak mungkin memilih, apakah saya seorang penulis sastra, ataukah seorang penerjemah sastra. Saya adalah keduanya, dan saya rasa hal ini sedikit banyak menempatkan saya pada posisi yang cukup menguntungkan — satu posisi yang menyajikan kepada saya suatu perspektif yang unik. Apalagi saya tidak hanya menulis dalam bahasa Indonesia, namun beberapa karya fiksi saya langsung saya tuliskan dalam bahasa Inggris. Perspektif ini tidak bisa dijelaskan dengan sederhana, sehingga saya merasa perlu menjabarkannya secara panjang lebar.

Sebelum masuk lebih jauh, saya ingin bercerita tentang suatu eksperimen kecil yang pernah saya lakukan. Dalam eksperimen ini, saya meminta orang-orang untuk menutup mata, kemudian saya akan menyebutkan tiga kata, masing-masing satu kali saja. Dari situ, saya melihat respon tertentu dari mereka. Katakanlah ketiga kata itu adalah: “teratai”, “awan”, dan “hidup”.

Yang ingin saya ketahui dari eksperimen sederhana ini adalah: Apakah ketika saya mengucapkan “teratai”, yang muncul dalam benak adalah rangkaian huruf yang membentuk kata “teratai”, ataukah citra dari bunga atau tanaman teratai itu sendiri? Demikian pula ketika saya mengucapkan “awan”. Apakah yang muncul adalah kata “awan”, ataukah sebentuk gumpalan awan? Dan terakhir, ketika saya mengucapkan kata “hidup”, apakah yang hadir adalah huruf-huruf yang menyusun kata “hidup”? Ataukah suatu gambaran, atau citra simbolis, ataukah sosok maupun sepenggal pengalaman yang muncul begitu saja dalam imajinasi yang terpantik oleh lafaz “hidup”? Atau, barangkali karena terlalu abstrak, tak ada suatu apa pun yang muncul dalam pikiran…

Dari eksperimen teramat sederhana terkait kata dan visualisasi ini, barangkali ada banyak hal yang bisa dipelajari. Namun bagi saya, setidaknya ada dua hal menarik. Pertama, terkait reseptor atau penerima umpan, ada di antara kita yang pemikirannya begitu visual, sehingga yang muncul dalam pikirannya ketika mendengar ketiga lafaz itu adalah citra-citra yang terkait dengannya. Ada pula di antara kita yang pemikirannya tekstual, sehingga yang muncul adalah huruf-huruf penyusun kata. Ada pula yang berada di antara keduanya. Eksperimen singkat ini telah saya terapkan pula pada beberapa orang secara tertulis, dan hasilnya serupa.

Hal menarik kedua, terkait materi, ada kata-kata yang memang lebih mudah memantik munculnya citra atau gambar dalam pikiran, khususnya kata-kata untuk hal-hal konkret — seperti “teratai” dan “awan” — ketimbang kata-kata untuk hal-hal abstrak seperti “hidup”, “mati”, “bahagia”, “sedih”, dan lain-lain. Di luar dugaan, ada pula responden yang begitu mendengar kata terakhir, yakni “hidup”, tak saja pikirannya menghadirkan teks H-I-D-U-P, namun segera pula merangkaikan ketiga kata tadi ke dalam satu kalimat puitis: “Aku ingin jadi teratai yang hidup dari lumpur dan mekar dinaungi awan.” Tak terlalu mengherankan, orang yang memberikan respon ini terbiasa menulis puisi, lirik lagu, dan karya fiksi.

Namun ada pula responden yang mengaku ketika membaca versi tulis ketiga kata tadi, yang langsung hadir dalam pikirannya adalah visualisasi bunga teratai, sebentuk awan, dan untuk kata “hidup”, yang muncul adalah visualisasi sosok anak laki-lakinya. Tidak terlalu mengherankan pula, ia adalah seorang creative director di suatu agensi periklanan, dengan latar belakang desain grafis, dan juga seorang ibu.

Versi lain dari eksperimen ini adalah apabila saya meminta responden untuk menutup mata, kemudian saya bilang, “Coba sekarang Anda bayangkan teratai.” Kemudian responden membayangkan bunga atau tanaman teratai. Lantas saya katakan, “Coba sekarang Anda beri tahu kepada diri Anda sendiri seperti apa teratai itu.” Jika kemudian pikiran responden mulai zoom in kepada bagian-bagian berbeda dari tanaman teratai, maka ia termasuk orang yang visual. Akan tetapi, apabila dalam pikirannya muncul deskripsi-deskripsi mengenai apa itu teratai; apa saja bagian-bagian dari teratai; kemudian, misalnya, apa fungsi dari bagian-bagian tersebut, maka ia termasuk orang yang tekstual, meskipun deskripsi yang muncul mungkin bukan dalam bentuk huruf-huruf melainkan suara batin. Dan bukan tidak mungkin, dalam pikiran sebagian yang lain, kedua proses tersebut berlangsung secara bersamaan.

Bagaimana pikiran manusia merespon kata-kata dalam bahasa yang ia pahami, dan apa saja asosiasi, muatan makna, serta nuansa atau tekstur yang terkandung dalam kata-kata, adalah tantangan sekaligus “taman bermain” bagi para pengarang dalam menuliskan kisah-kisah demi menyampaikan pengalaman maupun pesan-pesan tertentu.

Peraih Nobel Sastra 2006 Orhan Pamuk dalam esainya yang berjudul “Words, Pictures, Objects”, yang dsertakan dalam bukunya yang bertajuk The Naive and the Sentimental Novelist, mengatakan: “Some writers are better at addressing our verbal imagination, while others speak more powerfully to our visual imagination. l will call the first kind ‘verbal writers’ and the second kind ‘visual writers’.” Saya terjemahkan: “Sebagian penulis lebih mumpuni perihal menggugah imajinasi verbal pembaca, sedangkan sebagian lain lebih lantang menyeru imajinasi visual kita. Sebut saja kelompok pertama sebagai ‘penulis verbal’ dan kelompok kedua sebagai ‘penulis visual’.”

Namun di sini Orhan Pamuk sedang melakukan generalisasi. Selanjutnya ia jelaskan: “Of course, no writer can be placed solely on one side or the other of such a divide. But while reading some writers, we become more engaged with words, with the course of the dialogue, with the paradoxes or thoughts the narrator is exploring, whereas other writers impress us by filling our minds with indelible images, visions, landscapes, and objects.” Atau: “Tentu tak seorang penulis pun dapat ditempatkan hanya di sisi yang satu atau di sisi yang lainnya pada pengelompokan semacam ini. Namun ada sebagian penulis yang ketika kita membaca karyanya, kita lebih terpukau oleh kata-katanya, alur dialognya, paradoks ataupun pemikiran yang dieksplorasi oleh naratornya, sementara sebagian penulis lain memesona kita dengan caranya mengisi benak dengan segala citra, visi, lanskap, dan objek yang tiada lekang.”

Pamuk mengakui memang ada beberapa pengarang yang mumpuni dalam hal menggarap lapisan tekstual sekaligus lapisan visual dalam menghasilkan karya sastra. Mereka yang tak sekadar mampu melukis lewat rangkaian kata, tapi juga mampu menyajikan beragam analisis yang menuntut pembaca untuk sepenuhnya berpikir dalam konsep dan teks. Sebagai contoh, ada Coleridge yang menulis puisi dengan imajinasi visual sembari menganalisisnya dengan imajinasi verbal. Ada pula Edgar Allan Poe yang menjelaskan dalam esainya yang berjudul “The Philosophy of Composition” bagaimana ia menulis puisi “The Raven” dengan membidik imajinasi tekstual pembaca.

Eksperimen yang saya ceritakan tadi sesungguhnya merupakan langkah kecil yang dianjurkan oleh Orhan Pamuk untuk dapat mulai membedakan antara “sastra visual” dan “sastra verbal”. Bagi mereka yang nonpenerjemah, atau tidak mengidentifikasi diri sebagai penerjemah sastrawi, apabila dikotomi “sastra visual” dan “sastra verbal” adalah suatu konsep yang njelimet, maka sejatinya hal inilah yang selalu dihadapi oleh mereka yang berani menyebut diri sebagai penerjemah sastra, khususnya penerjemah susastra.

Saya berterima kasih kepada rekan penerjemah Reza Daffi yang dalam salah satu muatan blognya menulis tentang perbedaan antara “sastra” dan “susastra”. Jadi, menurut KBBI daring, “susastra” berarti karya sastra yang isi dan bentuknya sangat serius, berupa ungkapan pengalaman jiwa manusia yang ditimba dari kehidupan kemudian direka dan disusun dengan bahasa yang indah sebagai saranya sehingga mencapai syarat estetika yang tinggi. Ini bisa diterjemahkan sebagai high literature atau bahkan mungkin literary canon atau classic texts. Sementara itu, menurut Mas Reza Daffi di blognya, “sastra” mencakup segala jenis karya sastra, mulai dari yang populer hingga susastra. Definisi yang bermasalah, sebenarnya, karena apabila kita merujuk kepada sumber yang sama, yaitu KBBI daring, maka kita temukan bahwa salah satu definisi “sastra” adalah bahasa — yakni kata-kata serta gaya bahasa — yang digunakan dalam kitab-kitab, bukan bahasa sehari-hari.

Apabila “sastra” tidak meliputi bahasa sehari-hari, maka tentu tidak ada yang namanya sastra populer. Dan apabila “sastra” hanya ditemukan dalam kitab-kitab, maka tentu KBBI seolah telah menafikan sastra lisan. Saya sendiri cenderung kepada usulan Mas Reza, bahwa kata “sastra” mencakup segala jenis karya yang menggunakan bahasa sebagai wahana, namun mengandung unsur-unsur yang membedakannya dari teks-teks akademis maupun teknis. Dengan memasukkan karya-karya sastra populer hingga susastra ke dalam makna “sastra”, kita bisa lebih leluasa memasukkan lirik lagu, naskah film, hingga komik ke dalam kategori ini.

Nah, sekarang kita mari kita ajukan satu pertanyaan yang saya harap cukup menarik dan menggelitik: Adakah kelebihan pada penerjemah sastrawi yang sekaligus merupakan penulis atau pengarang karya sastra? Untuk hal ini, pembandingnya tentu adalah mereka yang mengidentifikasi diri sebagai penerjemah sastrawi namun tidak (pernah) menulis atau mengarang karya sastra.

Saya mengajukan pertanyaan ini kepada beberapa orang yang relevan. Berikut jawaban mereka:

EKA KURNIAWAN (pengarang): “Aku sih menerjemahkan lebih didorong sebagai cara belajar menulis juga. Dengan menerjemahkan, meskipun teks sudah pasti, aku tetap dituntut kreatif menciptakan ulang teks tersebut dalam bahasa Indonesia. Sesuatu yang tak kuhadapi saat menulis sendiri (karena bisa lebih bebas).”

GDE DWITYA (peneliti untuk EDGS Northwestern Univ. dan editor jalankaji.net): “Penerjemah sastra yang sekaligus penulis karya sastra akan, arguably, lebih sensitif pada nuansa makna yang muncul pada diksi tertentu. Sebagai akibatnya penerjemah yang sekaligus penulis akan condong pada gaya penerjemahan yang tidak menyasar alih bahasa kata per kata, namun lebih ke merekonstruksi kembali jalinan makna [pada] teks [sumber ke dalam] teks terjemahannya. Bahkan dengan risiko untuk tidak menggunakan pilihan kata pada teks [sumber].”

NUNO ROSALINO (penerjemah lepas untuk pasangan bahasa Inggris dan Portugis): “No, being a writer isn’t a sine qua non of literary translation, but it helps. For one, you’ll know people in the publishing industry and they’ll have at least some faith in your writing chops.
 
“Translating literature is a lot more complicated than it seems. Every word choice matters. Producing mellifluous work is essential, and you don’t get to that point without years of practice. If a single sentence is jarring to the reader, they’ll be reminded immediately that they’re reading a translation and be put off. Perfection — both semantically and stylistically — isn’t the goal, it’s the expectation.
 
“I did a Master’s in Literary Translation, where I had the good fortune of studying under some of my country’s foremost translators. Every single week, we’d translate a chunk of a book that was then discussed and scrutinized in class. Exhausting, to be sure, and I doubt there are a lot of similar programs around, but that’s really the way to go about it: doing practice translations by yourself is great, but you’ll improve at a much faster clip if you have someone with tons of experience giving you feedback along the way.
 
“You should also be reading widely of course, but I’m sure you already know that. I’d also recommend dipping your toes into translation theory — lots of people say it’s useless, and that might well be true in their work, but that kind of background will help you wrap your head around the ways you can tackle some of the ‘impossible’ translation problems you’ll face when working with literature.”

BELLA NAZAIRE (penerjemah untuk pasangan bahasa Inggris dan Prancis): “It definitely helps if you come to literary translation having had experience creating your own original written content. You need to be comfortable creating all types of sentence structures as some of the work you’ll be doing will not turn out so well if you can’t do that. It doesn’t matter whether you choose to lean on a CAT tool or not to do the job, the complexity and outright abstract nature of some of these texts will make it a necessity for you to be able to wipe the slate clean (in your mind or in the segment if you’re using a CAT [tool]) and build from scratch several times over before you find the right balance between accuracy and artistry.”

Mari fokus pada empat poin dalam jawaban para responden di atas. Keempat poin itu adalah: 1) [penerjemah karya sastra] tetap dituntut kreatif menciptakan ulang teks; 2) mereka juga sepatutnya lebih sensitif terhadap nuansa makna yang muncul pada diksi tertentu; 3) every word choice matters; dan 4) seorang penerjemah sastra dituntut untuk menemukan the right balance between accuracy and artistry.

Jika sejak tadi kita masih bertanya-tanya apa saja sebenarnya tantangan seorang penerjemah dalam menerjemahkan suatu karya sastra, maka kini kita bisa mengambil keempat poin ini dan membaginya ke dalam dua kategori, yakni kategori mikro dan makro. Pada kategori mikro, seorang penerjemah sastra dituntut lebih sensitif terhadap nuansa makna yang muncul pada diksi tertentu, sebab… every word choice matters.

Sebagaimana dinyatakan oleh Nuno Rosalino tadi: “If a single sentence is jarring to the reader, they’ll be reminded immediately that they’re reading a translation and be put off.” Satu saja kalimat terasa sumbang bagi pembaca, ia akan langsung diingatkan bahwa ia sebenarnya sedang membaca hasil terjemahan dan bisa-bisa merasa dongkol. Pada beberapa kasus, efek negatif ini bisa jadi bukannya “melukai” hubungan pembaca dengan penerjemah, namun justru melukai hubungan pembaca dengan penulis karya sastra itu sendiri, lalu berimbas pada penerbit karya tersebut, apabila karya tersebut telah diterbitkan dan disebarluaskan untuk tujuan komersial.

Mencari-cari contoh kesalahan penerjemahan adalah hal yang cukup mudah, namun hal ini kurang konstruktif apabila tidak dilanjutkan dengan menunjukkan bagaimana prinsip every word choice matters diterapkan dalam urusan penerjemahan.

Penjabaran singkat mengenai prinsip every word choice matters pernah saya tuliskan dalam satu esai yang bisa dibaca seutuhnya di sini. Di dalamnya, saya menulis begini: Belum lama ini, saya menerjemahkan novel karya Tya Subiakto berjudul Panggil Aku Mama, dan di dalamnya terdapat banyak kata “berjalan” dan “melangkah”. Dalam bahasa Inggris, kita bisa dengan mudah menggunakan “walk” untuk menyatakan aktivitas yang dimaksud. Tapi tentu kurang apik apabila kata tersebut saya gunakan berulang-ulang, apalagi jika ada keterangan yang menyatakan dalam kondisi apa proses “berjalan” atau “melangkah” tersebut dilakukan — dengan riang (kita bisa memilih bounce atau prance), lesu (ada trudge atau shamble), atau sambil memikul sesuatu yang berat (ada waddle atau lumber), misalnya. Ada puluhan sinonim untuk kata “walk”, baik itu yang terdiri dari satu kata, kata gabungan, ataupun idiom. Mungkin tidak berlebihan apabila saya katakan bahwa mereka yang menulis fiksi dalam bahasa Inggris, dan menerjemahkan fiksi ke dalam bahasa Inggris, lebih membutuhkan bantuan tesaurus ketimbang pengarang dalam bahasa Indonesia atau penerjemah ke dalam bahasa Indonesia.

Bukan berarti para penerjemah tak membutuhkan tesaurus bahasa Indonesia. Satu contoh sederhana, dibutuhkan kejelian untuk memilih padanan yang tepat untuk kata “chuckle”. Tawa seperti apa yang dikesankan oleh kata tersebut? Apakah terbahak, terkekeh, terkikik-kikik? Tawa kalem, atau tawa sinis? Adakah adjective atau adverb yang mengubah nuansa dari penggunaan kata tersebut, dan bagaimana menyesuaikannya dalam terjemahan? Was it a soft chuckle? Or did he chuckle nervously?

Atau bagaimana jika penerjemah menemukan ungkapan “tergila-gila” dengan konteks “jatuh cinta” dalam suatu karya? Ada begitu banyak kata dan idiom dalam bahasa Inggris yang dapat dijadikan padanannya:

Madly in love, fall head over heels, smitten, besotted, obsessed, very attracted, have a crush, really fancy, hopelessly in love, charmed, infatuated, greatly enamored, bowled over, under [one’s] spell, really into, captivated, consumed with desire, hung up on, enthralled, bewitched, beguiled, crazy about, mad about, wild about, carrying a torch, doting, quite fond, have deep affection, love-struck, spellbound, et cetera

Yang mana yang akan dipilih? Tentu ini bukan soal berapa banyak kata atau idiom yang dihafal, meskipun semakin banyak hafalan tentu semakin baik. Tapi ini lebih soal seberapa tajam kita bisa “mengendus” alasan atau maksud di balik pilihan penggunaan kata atau frasa oleh pengarang, hingga mungkin soal bagaimana kata atau frasa itu disusun atau ditempatkan dalam suatu kalimat. Ini bisa semakin luas pembahasannya. Misalnya, bagaimana suatu kalimat ditempatkan dalam paragraf. Bagaimana paragraf ditempatkan dalam suatu adegan. Bagaimana adegan ditempatkan dalam suatu bab. Dan seterusnya.

Kembali ke urusan mencari padanan untuk frasa “tergila-gila”… Untuk menentukan pilihan, seorang penerjemah dituntut mengupas lapis demi lapis pertanyaan: Ungkapan ini disebutkan oleh laki-laki atau perempuan? Atau justru narator? Apakah sebelumnya tokoh atau narator memang banyak menggunakan ungkapan atau idiom? Apakah kata-katanya sering berbunga-bunga? Apakah pilihan kata, frasa, atau ungkapan tertentu cocok digunakan di latar tempat dan latar waktu kisah dalam novel atau cerpen yang sedang diterjemahkan? Lapisan yang perlu dipertimbangkan bisa jadi banyak, bisa jadi sedikit.

bersambung ke Bagian 2

6 responses to “Menerjemahkan Suara sang Pengarang (Bag. 1)

  1. Pingback: MENERJEMAHKAN SUARA SANG PENGARANG (BAG. 2) | Bekabuluh·

  2. Pingback: Menerjemahkan Suara sang Pengarang (Tamat) | Bekabuluh·

  3. Pingback: Komunikasi Budaya dalam Penerjemahan Sastrawi (Bag. 1) | Bekabuluh·

  4. Pingback: Komunikasi Budaya dalam Penerjemahan Sastrawi (Bag. 3) | Bekabuluh·

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s