WASPADALAH akan pencemaran lingkungan akibat pertanian yang tidak bertanggung jawab. Efeknya bisa lebih buruk daripada yang Anda bayangkan.

Stephanie Seneff, seorang peneliti-senior biologi & teknologi dari Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat, menarik kesimpulan bahwa dalam 10 tahun ke depan, separo dari seluruh bayi bisa jadi terlahir dengan gejala autis karena orang tua mereka mengonsumsi pangan atau terpapar herbisida Roundup (biasa dilafalkan “rondap”). Dan itu baru awalnya.
Dalam sebuah konferensi di akhir 2014, Seneff menyatakan bahwa dengan pola pertanian dan konsumsi yang ada sekarang, satu dari dua anak dapat terkena gejala autis pada tahun 2025. Ia menemukan dalam risetnya bahwa efek-efek samping autisme meniru efek keracunan unsur glifosat (glyphosate) yang terdapat dalam Roundup, racun pembunuh rumput buatan perusahaan Monsanto yang penggunaannya sangat lazim dalam pertanian di Indonesia. Jika Anda petani, silakan cek kandungan zat ini di kemasan herbisida yang Anda gunakan. Autisme sendiri merupakan bentuk kelainan perkembangan syaraf yang ditandai dengan terganggunya interaksi dan komunikasi verbal maupun non-verbal, serta sikap-sikap tubuh yang terbatas dan diulang-ulang.
Anda mencari penerjemah akademik? Hubungi Bekabuluh (Dalih Sembiring) melalui dlhbiring@gmail.com atau +62 812-6085-0859. Layanan di bidang ini meliputi penerjemahan dan/atau pengeditan artikel ilmiah, tesis (skripsi, tesis, disertasi), abstrak tesis, proposal penelitian, laporan penelitian, berbagai dokumen (non-legal) institusi pendidikan, dan sebagainya. Kunjungi laman testimoni untuk membaca komentar beberapa klien yang telah membuktikan kelebihan Bekabuluh dalam penerjemahan akademik dan penerjemahan di bidang lainnya.
Di Indonesia, formula-formula pembunuh rumput yang mengandung glifosat kini dijual secara bebas dengan pasaran yang luas. Cairan-cairan itu dapat dengan mudah dibeli di warung-warung kecil di pedesaan. Sejak sistem pertanian TOT atau Tanpa Olah Tanah diperkenalkan kepada para petani kita, penggunaan Roundup dan sejenisnya menjadi sangat populer. Dan tentu saja, tanpa adanya pendidikan tentang bahaya herbisida dan pestisida pabrikan, para petani tenang-tenang saja mencampurkan, menebarkan, maupun menyemprotkan bahan-bahan tersebut, meskipun berbagai penyakit terus mengintai sebagai efek jangka pendek dan menengah, selain adanya dampak-dampak terhadap kondisi air, tanah, dan udara.

Secara umum, glifosat diserap oleh daun dan bagian-bagian lain dari tanaman, untuk lantas bergerak ke titik-titik pertumbuhan tunas maupun akar. Pada titik-titik tersebut, glifosat mengintervensi produksi enzim-enzim, terdiri dari beragam asam amino, yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Titik-titik pertumbuhan ini hanya ada pada tanaman, jamur, serta bakteri, sehingga tadinya glifosat dianggap tidak berbahaya bagi hewan dan manusia. Namun riset-riset termutakhir membuktikan sebaliknya. Pada Roundup dan produk-produk serupa, glifosat dicampur dengan elemen-elemen lain yang membuatnya lebih mudah diserap, baik itu lewat daun dan batang tanaman maupun kulit hewan dan manusia.
Sebagai daftar pegangan, penyakit-penyakit (selain austisme) akibat glifosat yang dipaparkan oleh Professor Stephanie Seneff serta hasil-hasil penelitian lain adalah: nyeri lambung, diare kronis, colitis, penyakit Crohn, obesitas, berbagai alergi, gangguan kardiovaskular, penyempitan pembuluh nadi, kanker, gangguan kesuburan baik pada laki-laki maupun perempuan, kelainan pada janin, penyakit Alzheimer, penyakit Parkinson, depresi, penyakit-penyakit neurodegeneratif lain, gangguan penglihatan, hingga kebutaan.
Di tahun 2009, satu pengadilan di Perancis menyatakan Monsanto bersalah atas kebohongan-kebohongannya dalam mengiklankan Roundup sebagai herbisida yang “dapat terurai secara alami,” “ramah lingkungan,” dan “gampang hilang dari tanah.”
Bagaimana racun-racun buatan Monsanto dll. bisa menjadi bagian dari peradaban manusia? Sebagaimana perusahaan-perusahaan besar bioteknologi di dunia seperti Bayer, BASF, Dow Chemical Company, dan lainnya, Monsanto memiliki rekam jejak sebagai pengembang produk-produk kimia sintetis. Di antara rekam jejak itu, pada Perang Dunia II, Monsanto terlibat aktif dalam The Manhattan Project, sebuah proyek penciptaan bom nuklir pertama. Pada 1967, Monsanto bekerjasama dengan perusahaan Jerman yang menjadi penyalur utama Zyklon-B, produk yang tadinya digunakan untuk membantai jutaan orang di ruang-ruang gas. Pada Perang Vietnam, Monsanto merupakan salah satu penyalur utama Agent Orange, senjata kimia yang digunakan untuk merusak dengan cepat hutan-hutan yang menjadi lokasi persembunyian Viet Cong. Ketika perang-perang pada periode ini berakhir, stok racun-racun kimiawi itu tak lagi terpakai di medan peperangan. Monsanto dan kawan-kawan lantas mengalihkan pemanfaatan racun-racun tersebut ke berbagai bidang, termasuk pertanian.
Dengan alasan melawan kelaparan global, Monsanto dll. berusaha yakinkan dunia bahwa meniru cara bertani mereka merupakan jalan yang paling efektif, efisien, serta menguntungkan. Para petani disarankan membeli benih-benih hasil utak-atik genetis dari mereka. Benih-benih itu menghasilkan tanaman-tanaman yang tidak mampu menghasilkan benih yang baik, sehingga petani harus membeli benih kembali. Agar benih-benih itu dapat tumbuh maksimal, petani harus membeli pula pasangan-pasangannya, yakni pupuk-pupuk serta herbisida dan insektisida buatan mereka. Semua berasal dari perusahaan-perusahaan tersebut. Akan tetapi, apabila terjadi gagal panen, mereka tidak menanggung akibat apa-apa. Dan gagal panen semacam ini telah kerap terjadi. Sejak 1997, lebih dari 180.000 petani India melakukan aksi bunuh diri. Mereka terjerat hutang dan kehilangan tanah, menjadi korban kongkalikong pemerintah di sana dengan Monsanto dan korporasi serupa seperti Cargill dan Syngenta. Kasus gagal panen akibat produk-produk Monsanto telah terjadi pula di Indonesia, khususnya yang terkenal adalah pada perkebunan kapas.
Maka jika Anda petani, akankah Anda terus merusak tanah dan kemungkinan merusak tubuh orang lain dengan menggunakan Roundup? Dan jika Anda konsumen, akankah Anda terus-terusan tak peduli dari mana makanan Anda berasal dan bagaimana makanan-makanan itu diolah? Demi kemaslahatan bersama, isu ini perlu disikapi lebih lanjut dengan informasi yang memadai dan perubahan-perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Wallahu a’lam.
*kedalamannya 20 m
Kedalaman apa ya?